Apakah anda pernah mengalami hal yang serupa?
Sebenarnya sistem pendidikan di Indonesia sudah mengelompokkan program studi di SMA menjadi tiga klasifikasi : Kelas IPA, Kelas IPS dan Kelas Bahasa. Hal ini dilakukan pada awalnya untuk memfasilitasi minat siswa yang berbeda-beda, namun karena penerapan yang TOTOL, hal ini kemudian malah berubah menjadi suatu bentuk baru dari education ‘racism’. Menempatkan siswa IPA sebagai ras unggul dunia akademis that give IPA students a privilege to force IPS and Language students to SHIT themselves.Berikut adalah alasan yang menempatkan kelas IPA sebagai jurusan primadona bagi para orang tua (dan tentunya anak-anak mereka yang ‘penurut’):
1. (Mereka pikir) Pelajaran IPA itu lebih SULIT
Dan yang lebih sulit, yang lebih bikin BANGGA!
Memasuki kelas 2 SMA semester akhir memang saatnya untuk sport jantung. Bukan apa-apa, masalahnya syarat untuk bisa masuk kelas IPA minimal nilai pelajaran matematika, fisika, kimia, dan biologi (MAFIKIBI) semua harus diatas 6.
Orang tua pun sibuk cari tempat bimbingan belajar untuk anaknya. Kemudian sepulang dari bimbel, masih juga ada guru privat yang sudah menunggu di rumah. Les tambahan dengan guru di sekolah pun tidak lupa diikuti, yah siapa tau aja bisa dapet bocoran soal ulangan.
Ya ampuun, kenapa sih pelajaran IPA sulit semua?!!
Faktanya:
Belajar ilmu pasti sebenarnya tidak sesulit itu (yeah right, TALK TO MY HAND!!), karena seluruh variable-nya teridentifikasi dengan jelas. Objek-objek yang dipelajari kebanyakan benda mati, atau kalaupun tidak, perilakunya mudah diprediksi. Pokoknya pasti-pasti semua deh…
Berbeda dengan pemodelan sosial yang banyak memperhitungkan aspek pola perilaku manusia, dimana variabelnya lebih banyak, lebih rumit, dan tidak dapat diprediksi dengan jelas. Menurut para ahli, justru studi sosial perlu dilakukan dengan analisa yang membutuhkan kemampuan logis yang kuat. Dan tidak ada rumus jempol untuk pelajaran sosial yang dapat dibuat, bahkan oleh seseorang sekelas Einstein sekalipun.
Lagipula setiap orang itu kan dilahirkan dengan bakat yang berbeda-beda. Tidak adil rasanya bila kita mengatakan pelajaran IPA lebih sulit dari pelajaran lainnya. Karena dengan bakat orang yang berbeda-beda, parameter ‘sulit’ pun seharusnya menjadi berbeda-beda. Adalah suatu hal yang wajar apabila seorang matematikawan dapat menguasai deret fourier tanpa kesulitan, sebab bisa jadi parameter sulit menurutnya adalah memainkan Donkey Kong hingga mendapatkan kill screen. Sementara di tempat lain ada lho orang-orang yang bisa melakukannya, menjadi legenda, bahkan di-film-kan!
Dan kalau pun ada orang yang bisa melakukan semua hal tanpa pernah merasa kesulitan, mungkin dia inilah orangnya:
Dan kalau pun ada orang yang bisa melakukan semua hal tanpa pernah merasa kesulitan, mungkin dia inilah orangnya:
2. (Mereka pikir) Anak IPA itu super PINTAR
Dan yang lebih pintar, yang lebih bikin BANGGA!
Selamat anda kini diterima dikelas IPA! Suka atau tidak, anda lah kini strata tertinggi dalam piramida dunia pendidikan. Pakai lah kacamata, tenteng buku fisika kemana-mana, dan masuk perpustakaan sekali-kali. Orang-orang akan tahu bahwa anda PINTAR. Untuk lebih meyakinkan lagi, bolehlah diskusikan tentang rumus-rumus trigonometri atau reaksi hidrolisis di tempat publik. Maka orang-orang pun akan memandang anda dengan kagum dan berkata lirih: This is the man who is gonna change the world…
Dan yang lebih pintar, yang lebih bikin BANGGA!
Selamat anda kini diterima dikelas IPA! Suka atau tidak, anda lah kini strata tertinggi dalam piramida dunia pendidikan. Pakai lah kacamata, tenteng buku fisika kemana-mana, dan masuk perpustakaan sekali-kali. Orang-orang akan tahu bahwa anda PINTAR. Untuk lebih meyakinkan lagi, bolehlah diskusikan tentang rumus-rumus trigonometri atau reaksi hidrolisis di tempat publik. Maka orang-orang pun akan memandang anda dengan kagum dan berkata lirih: This is the man who is gonna change the world…
Biarkan semua orang tahu, bahwa siswa IPA adalah produk akademis PALING PINTAR sejagad raya. Yang lainnya?? NOTHING!
Faktanya:
Sejak tahun 1983, seorang psikolog dan peneliti Harvard University bernama Howard Garner telah mengatakan bahwa kecerdasan dasar manusia itu dapat terbagi atas beberapa macam, diantaranya:
1. Kecerdasan Visual-Spatial, berhubungan dengan kemampuan mengingat gambar dan visualisasi objek di dalam pikiran.
Contoh karir: peserta kuis tebak gambar
2. Kecerdasan Linguistik, berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengolah kata.
Contoh karir: playboy, penipu
3. Kecerdasan Logika-Matematika, berhubungan kemampuan berlogika, menghubungkan sebab-akibat, bermain angka-angka. Memiliki korelasi yang erat dengan konsep kecerdasan tradisional atau yang dulu dikenal dengan istilah ‘IQ’.
Contoh karir: Rocket Scientist (ck, boring!)
4. Kecerdasan Fisik-Kinestetik, berhubungan dengan ketangkasan, kontrol tubuh, dan kemampuan meng-handle benda dengan terampil.
Contoh karir: God of gambler
5. Kecerdasan Musikal, berhubungan dengan kemampuan mengenali dan mengolah suara, nada, ritme dan musik baik hanya dengan vokal maupun menggunakan alat.
Contoh karir: personel soneta group
6. Kecerdasan Interpersonal, berhubungan dengan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Contoh karir: politikus, pejabat, koruptor, business-man, mafia
7. Kecerdasan Intrapersonal, berhubungan dengan kemampuan untuk mengenali diri, introspeksi dan pengembangan diri.
Contoh karir: psikolog, motivator, pengangguran (yang punya cukup banyak waktu untuk merenungi nasibnya yang sial)
Dan pada tahun 1999, ia menambahkan satu kecerdasan dasar lagi kedalam daftarnya.
8. Kecerdasan Naturalis, berhubungan dengan alam, merawat dan menjaga ekosistem lingkungan.
Contoh karir: penjaga kebun binatang
Faktanya:
Sejak tahun 1983, seorang psikolog dan peneliti Harvard University bernama Howard Garner telah mengatakan bahwa kecerdasan dasar manusia itu dapat terbagi atas beberapa macam, diantaranya:
1. Kecerdasan Visual-Spatial, berhubungan dengan kemampuan mengingat gambar dan visualisasi objek di dalam pikiran.
Contoh karir: peserta kuis tebak gambar
2. Kecerdasan Linguistik, berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengolah kata.
Contoh karir: playboy, penipu
3. Kecerdasan Logika-Matematika, berhubungan kemampuan berlogika, menghubungkan sebab-akibat, bermain angka-angka. Memiliki korelasi yang erat dengan konsep kecerdasan tradisional atau yang dulu dikenal dengan istilah ‘IQ’.
Contoh karir: Rocket Scientist (ck, boring!)
4. Kecerdasan Fisik-Kinestetik, berhubungan dengan ketangkasan, kontrol tubuh, dan kemampuan meng-handle benda dengan terampil.
Contoh karir: God of gambler
5. Kecerdasan Musikal, berhubungan dengan kemampuan mengenali dan mengolah suara, nada, ritme dan musik baik hanya dengan vokal maupun menggunakan alat.
Contoh karir: personel soneta group
6. Kecerdasan Interpersonal, berhubungan dengan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Contoh karir: politikus, pejabat, koruptor, business-man, mafia
7. Kecerdasan Intrapersonal, berhubungan dengan kemampuan untuk mengenali diri, introspeksi dan pengembangan diri.
Contoh karir: psikolog, motivator, pengangguran (yang punya cukup banyak waktu untuk merenungi nasibnya yang sial)
Dan pada tahun 1999, ia menambahkan satu kecerdasan dasar lagi kedalam daftarnya.
8. Kecerdasan Naturalis, berhubungan dengan alam, merawat dan menjaga ekosistem lingkungan.
Contoh karir: penjaga kebun binatang
Lalu dimana posisi kecerdasan anak IPA yang katanya paling pintar sejagad raya tadi? Kalau diperhatikan, ternyata pelajaran IPA hanya berkisar di urusan utak-atik angka dan perkara reproduksi kodok. Ini berarti hanya kecerdasan logika-matematik dan kecerdasan naturalis yang digunakan. Atau dengan kata lain, anak IPA belajar di kelas hanya dengan menggunakan ¼ (seperempat) potensi kecerdasannya.
Jadi gimana one-quarter-brained man? Masih menganggap yang lain NOTHING? F*CK YEAH!!
3. (Mereka pikir) Masuk IPA adalah rumus pasti untuk SUKSES di masa depan
Dan yang lebih sukses, yang lebih bikin BANGGA!
Berada di kelas IPA, berarti anda kelak akan menjadi Insinyur, ilmuwan atau dokter. Yang mana (mereka & kita pikir) pasti akan mendapatkan pekerjaan tetap yang mapan, menghasilkan banyak uang, punya rumah mewah, mobil bagus, istri cantik dan mati masuk surga. Lupakan cita-cita masa kecil ingin jadi pelukis, designer pakaian atau guru bahasa inggris. Karena anda tinggal di Indonesia, dimana semua itu (mereka & kita pikir) tidak ada masa depannya.
Kini tujuan anda adalah jurusan-jurusan unggulan di bangku universitas. Pilih salah satu jurusan dari Science, Technology, Engineering, atau Mathematic (STEM), maka anda (kalau beruntung) akan sukses dikemudian hari.
Well done, you’re now already in the right path!
Faktanya:
Memang harus diakui, STEM subjects begitu digemari bukan tanpa alasan. Sumber penghasilan 6 dari 10 orang terkaya versi Forbes berasal dari bidang ini, kecuali Warren Buffet (Berkshire Hathaway), Bernard Arnault (Luis Vitton), Amancio Ortega (Zara), dan Crishty Walton (Walmart).
WAIT A MINUTE!!!!
Are we telling you that the rest of four are not STEM-oriented person and still they get so FREAKIN’ RICH??? Actually, yes we are.
Dan lagi, coba pikir dengan jernih, apa mungkin 10 orang terkaya tadi dapat sedemikian SUKSES tanpa kemampuan bisnis dan interpersonal skill yang luar biasa (which are very very IPS)?? Non-sense!
Tapi mungkin kemudian kalian berpikir:
“Hey.. hey.. Tuan penulis tunggu dulu! Kami ini orang ASIA, kami tidak seambisius itu, kami cuma sekedar ingin hidup normal, menikmati gaji besar dengan anak dan istri-istri kami kelak… “
Ok, then check this out! Dalam sebuah survey yang mengelompokkan 171 bidang studi dalam 15 kategori di Amerika sana, para responden diminta menyebutkan gelar s1-nya dan menyebutkan penghasilannya. Ternyata dari 15 kategori tadi, penghasilan orang Asia mendominasi di 3 kategori yaitu: Hukum dan kebijakan publik, psikologi dan pekerjaan sosial, serta biologi dan ilmu hayati. Well, hanya ilmu tentang reproduksi kodok that works with Asian. Lalu sekarang coba tebak, responden Asia sebagian besar berasal dari lulusan mana? Yes indeed, COMPUTER SCIENCE AND MATHEMATICS. FREAK!!
Jadi gimana one-quarter-brained man? Masih menganggap yang lain NOTHING? F*CK YEAH!!
3. (Mereka pikir) Masuk IPA adalah rumus pasti untuk SUKSES di masa depan
Dan yang lebih sukses, yang lebih bikin BANGGA!
Berada di kelas IPA, berarti anda kelak akan menjadi Insinyur, ilmuwan atau dokter. Yang mana (mereka & kita pikir) pasti akan mendapatkan pekerjaan tetap yang mapan, menghasilkan banyak uang, punya rumah mewah, mobil bagus, istri cantik dan mati masuk surga. Lupakan cita-cita masa kecil ingin jadi pelukis, designer pakaian atau guru bahasa inggris. Karena anda tinggal di Indonesia, dimana semua itu (mereka & kita pikir) tidak ada masa depannya.
Kini tujuan anda adalah jurusan-jurusan unggulan di bangku universitas. Pilih salah satu jurusan dari Science, Technology, Engineering, atau Mathematic (STEM), maka anda (kalau beruntung) akan sukses dikemudian hari.
Well done, you’re now already in the right path!
Faktanya:
Memang harus diakui, STEM subjects begitu digemari bukan tanpa alasan. Sumber penghasilan 6 dari 10 orang terkaya versi Forbes berasal dari bidang ini, kecuali Warren Buffet (Berkshire Hathaway), Bernard Arnault (Luis Vitton), Amancio Ortega (Zara), dan Crishty Walton (Walmart).
WAIT A MINUTE!!!!
Are we telling you that the rest of four are not STEM-oriented person and still they get so FREAKIN’ RICH??? Actually, yes we are.
Dan lagi, coba pikir dengan jernih, apa mungkin 10 orang terkaya tadi dapat sedemikian SUKSES tanpa kemampuan bisnis dan interpersonal skill yang luar biasa (which are very very IPS)?? Non-sense!
Tapi mungkin kemudian kalian berpikir:
“Hey.. hey.. Tuan penulis tunggu dulu! Kami ini orang ASIA, kami tidak seambisius itu, kami cuma sekedar ingin hidup normal, menikmati gaji besar dengan anak dan istri-istri kami kelak… “
Ok, then check this out! Dalam sebuah survey yang mengelompokkan 171 bidang studi dalam 15 kategori di Amerika sana, para responden diminta menyebutkan gelar s1-nya dan menyebutkan penghasilannya. Ternyata dari 15 kategori tadi, penghasilan orang Asia mendominasi di 3 kategori yaitu: Hukum dan kebijakan publik, psikologi dan pekerjaan sosial, serta biologi dan ilmu hayati. Well, hanya ilmu tentang reproduksi kodok that works with Asian. Lalu sekarang coba tebak, responden Asia sebagian besar berasal dari lulusan mana? Yes indeed, COMPUTER SCIENCE AND MATHEMATICS. FREAK!!
Dan kalaupun memang you can earn a lot of freakin’ money from this sh*t, lantas BISAKAH harta yang melimpah itu menjamin kebahagiaan hidup seseorang?
4. (Mereka pikir) Tidak perlu bersusah payah menciptakan lapangan kerja karena banyak lapangan kerja untuk anak IPA
Dan yang ‘kerja’, yang lebih bikin BANGGA!
Selamat, kini ijazah kuliah sudah ditangan. Kalau orang gedongan bilang: sudah memiliki daya saing di dunia kerja. Ahaayy! Thanks to kelas IPA dulu semasa SMA. Nah, sekarang saatnya mulai cari kerja. Voila!!
4. (Mereka pikir) Tidak perlu bersusah payah menciptakan lapangan kerja karena banyak lapangan kerja untuk anak IPA
Dan yang ‘kerja’, yang lebih bikin BANGGA!
Selamat, kini ijazah kuliah sudah ditangan. Kalau orang gedongan bilang: sudah memiliki daya saing di dunia kerja. Ahaayy! Thanks to kelas IPA dulu semasa SMA. Nah, sekarang saatnya mulai cari kerja. Voila!!
Faktanya:
Eh.. eh.. tapi kok ternyata susah sih cari kerja? Eh.. eh.. tapi kok ternyata gak enak ya jadi bawahan? Eh.. eh.. tapi kok hidupnya jadi tergantung sama gaji bulanan gini sih? Eh.. eh.. tapi kok kena PHK sih? Dan masih banyak “tapi” yang lainnya lagi. Yah, resiko Bung! Namanya juga jadi kacungnya orang lain, siap-siap aja banyak gigit jari.
Eh.. eh.. tapi kok ternyata susah sih cari kerja? Eh.. eh.. tapi kok ternyata gak enak ya jadi bawahan? Eh.. eh.. tapi kok hidupnya jadi tergantung sama gaji bulanan gini sih? Eh.. eh.. tapi kok kena PHK sih? Dan masih banyak “tapi” yang lainnya lagi. Yah, resiko Bung! Namanya juga jadi kacungnya orang lain, siap-siap aja banyak gigit jari.
Tapi mau gimana lagi, bahkan ternyata pendidikan Indonesia memang sama sekali tidak berharap agar penduduknya mandiri lewat pendidikan. Coba saja tengok Poin terakhir misi pendidikan Indonesia yang penulis kutip di bawah ini :
“Menjamin kepastian memperoleh layanan pendidikan. Adanya jaminan bagi lulusan sekolah untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya atau mendapatkan lapangan kerja sesuai kompetensi.”
Dan akibatnya, kurikulum pendidikan Indonesia pun mau tidak mau harus rela dikangkangi oleh para kapitalis, didikte dengan dalih tuntutan dunia kerja (poin #6 acuan penyusunan kurikulum pendidikan Indonesia).
Jadi kawan, demi suksesnya pendidikan nasional, masuk lah kelas IPA! J
Maka tidak perlu heran jika jumlah entrepreneurship di Indonesia hanya berkisar di angka 0.18%. Sungguh angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan Negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara, apalagi Amerika Serikat (11.5%). Padahal, menurut sosiolog David McClelland: ”Suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur (pengusaha) sedikitnya 2% dari jumlah penduduknya”
Sekarang seandainya saja minimum requirement yang 2% ini terpenuhi, berarti seharusnya akan ada tambahan pengusaha di Indonesia sebanyak (2% – 0.18%) x 238 jt jiwa = 4.3316 juta jiwa. Dan apabila 1 orang pengusaha paling tidak punya 1 orang pekerja, maka jumlah orang yang tidak menganggur meningkat hingga menjadi 4.3316 x 2 = 8.6632 juta jiwa. Coba saja bandingkan dengan tingkat pengangguran di Indonesia yang di awal 2011 lalu mencapai 9.25 juta jiwa
Maka selamat, dengan ini anda telah berhasil mengurangi 93.65% tingkat pengangguran di Indonesia. Wow!! Anda layak dapat nobel!
Gimana, berminat jadi pengusaha? Kalau anda memang berminat, ada satu pertanyaan mendasar untuk anda jawab: apakah pernah diajarkan caranya berwirausaha di kelas IPA?
“Menjamin kepastian memperoleh layanan pendidikan. Adanya jaminan bagi lulusan sekolah untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya atau mendapatkan lapangan kerja sesuai kompetensi.”
Dan akibatnya, kurikulum pendidikan Indonesia pun mau tidak mau harus rela dikangkangi oleh para kapitalis, didikte dengan dalih tuntutan dunia kerja (poin #6 acuan penyusunan kurikulum pendidikan Indonesia).
Jadi kawan, demi suksesnya pendidikan nasional, masuk lah kelas IPA! J
Maka tidak perlu heran jika jumlah entrepreneurship di Indonesia hanya berkisar di angka 0.18%. Sungguh angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan Negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara, apalagi Amerika Serikat (11.5%). Padahal, menurut sosiolog David McClelland: ”Suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur (pengusaha) sedikitnya 2% dari jumlah penduduknya”
Sekarang seandainya saja minimum requirement yang 2% ini terpenuhi, berarti seharusnya akan ada tambahan pengusaha di Indonesia sebanyak (2% – 0.18%) x 238 jt jiwa = 4.3316 juta jiwa. Dan apabila 1 orang pengusaha paling tidak punya 1 orang pekerja, maka jumlah orang yang tidak menganggur meningkat hingga menjadi 4.3316 x 2 = 8.6632 juta jiwa. Coba saja bandingkan dengan tingkat pengangguran di Indonesia yang di awal 2011 lalu mencapai 9.25 juta jiwa
Maka selamat, dengan ini anda telah berhasil mengurangi 93.65% tingkat pengangguran di Indonesia. Wow!! Anda layak dapat nobel!
Gimana, berminat jadi pengusaha? Kalau anda memang berminat, ada satu pertanyaan mendasar untuk anda jawab: apakah pernah diajarkan caranya berwirausaha di kelas IPA?
Mohon dipahami, tulisan ini bukannya tulisan anti IPA, karena kenyataannya penulis pun dulu memilih masuk di kelas IPA. The thing that I’m trying to say is no matter what your class is, KICK RACISM OUT OF EDUCATION! Setiap manusia berhak untuk menentukan jalan hidupnya, sesuai dengan passion dan cita-cita yang ingin diraihnya. Boleh pilih jurusan manapun, entah IPA, IPS atau Bahasa. Namun yang penting jangan pernah memilih hanya agar hidup ‘aman’. To hell with mainstream we create our own opportunity!
Thank God, our distorted education still teach us how to read, so you can waste your time and read this junk. Enjoy!!
Thank God, our distorted education still teach us how to read, so you can waste your time and read this junk. Enjoy!!
sumber: http://www.detikmaya.com/2012/07/mengapa-mereka-pikir-jurusan-ipa-lebih.html#ixzz20jzZvTdB
No comments:
Post a Comment