Wednesday, May 02, 2012

Kisah Sedekah : Mang Ayi, Gorden Keliling dan Perpustakaan Sariwangi


“ Sejak masih remaja, saya sudah bekerja apa saja. Keluarga saya bukan keluarga berada, bahkan sangat sederhana. Waktu masih sekolah, saya sering tidak bisa membeli buku karena sama sekali tidak ada uang. Meski sangat ingin dan perlu buku, tapi saya tidak tega kalau harus memaksa orang tua, karena biayanya memang tidak ada.
 Sejak dulu, saya memang senang membaca buku. Karena kesukaan saya ini, kadang saya dicemooh, disebut berlagak seperti orang kaya [tertawa]. Ketika menyempatkan waktu untuk membaca, kadang dikatakan, “wah tukang gorden kayak orang kaya, pagi-pagi udah baca koran” [tertawa]. Tapi saya tidak ambil pusing. Menyikapi olokan teman, saya justru merasa prihatin. Mungkin mereka masih berprinsip buat apa membaca, memangnya bisa mendatangkan uang.
 Saya pernah membaca penelitian sebuah majalah di tahun 2004, yang mengatakan daya baca masyarakat kita di bawah standar. Katanya minat baca orang Indonesia peringkat 110 dari 175 negara. Saya kaget, kenapa bisa serendah itu. Apa karena manusianya tidak mau membaca atau karena tidak ada bahan bacaan yang aksesnya mudah. Kalau alasannya tidak ada bahan bacaan, kenapa kita tidak terjun untuk menyediakan. Akhirnya mulai terpikir untuk membuka taman bacaan di desa sendiri (desa Arjasari, Bandung).


Suatu hari ketika berjualan gorden keliling, saya melihat di satu keluarga yang anaknya menangis meminta dibelikan buku. Orang tuanya tidak punya uang. Jangankan untuk buku, untuk makan hari itu saja sulit. Tiba di rumah, saya mencari buku yang disimpan di rumah. Buku bekas saya sekolah, buku bekas keponakan, dan buku bacaan lain saya kumpulkan. Terkumpul kurang lebih dari 75 buku. Kemudian saya membuka taman bacaan di teras rumah (pada 20 April 2004)
Awalnya, anak-anak tidak ada yang mau masuk ke teras ‘taman bacaan’ rumah saya. Akhirnya kalau ada anak yang lewat, saya panggil. Saya bilang buku-buku itu tidak dijual tapi justru untuk dibaca secara gratis. Mulailah anak-anak berdatangan dan membaca buku di teras. Selain ‘berkampanye’, saya juga membeli makanan kecil. Uang dari hasil berjualan gorden, saya pakai membeli makanan. Anak-anak lebih senang kalau membaca sambil dikasih makanan, dan semuanya gratis. Mereka memberi tahu temannya, “Disuruh membaca sama Mang Ayi, enak ada permen, ada makanan”. Dari temannya sampai ke temannya lagi. Lama-lama yang datang bertambah terus.
Mulanya istri kurang setuju saya membuka taman bacaan, juga dikarenakan khawatir seluruh perhatian saya tercurah untuk taman bacaan itu. Karena waktu itu rumah tangga saya sendiri ekonominya di bawah standar, miskin. Berjualan gorden keliling, kadang sehari ada yang membeli, setelah itu selama seminggu tidak ada pemasukan. Kalaupun ada untung saya jarang membawa pulang uang. Justru membawa pulang buku (untuk taman bacaan). Kalau mendatangi perumahan, saya melihat buku-buku yang akan dijual ke tukang rongsokan. Saya sangat prihatin. Ya Allah andaikata saya banyak uang, saya ingin membeli semua. Akhirnya saya beranikan diri menawar buku-buku itu. Awalnya orang-orang kaget, kenapa Ayi yang tukang gorden membeli buku bekas. Setelah mengetahui buku itu untuk taman bacaaan, seringkali harganya didiskon, kadang malah diberikan cuma-cuma. Pernah juga saya difitnah, ketika ada tukang rongsokan ingin membeli buku-buku bekas ibu pemilik rumah. Si ibu bilang mau diberikan ke Mang Ayi, namun tukang rongsokan itu berkata, “Mang Ayi bohong, buku-buku itu bukan untuk taman bacaan, tapi buat dijual”. Syukurlah si ibu lebih mempercayai saya.
Ayi Rohaman dan Perpustakaan
Ayi Rohaman dan Perpustakaan. Di scan dari majalah Tarbawi. Foto dok Tarbawi/wasilah
Setelah buku yang terkumpul makin banyak, saya meminjam kios kakak saya di depan rumah. Buku-buku saya susun di dalam kios, yang ukurannya kecil sekali, hanya memuat lima orang. Kalau datang sepuluh anak, yang lima anak harus mengantri di luar. Taman bacaan saya itu kemudian saya beri nama Perpustakaan Sariwangi
Pernah anak bungsu saya menangis meminta uang jajan, tapi tidak saya berikan. Tiba-tiba datang ke perpustakaan seorang anak yang menanyakan buku, untuk PR, dan besoknya harus dikumpulkan. Ternyata di perpustakaan tidak ada buku itu. Hari itu juga saya cari buku itu ke pasar. Istri sempat protes karena anak sendiri tidak diberikan uang jajan [tertawa]. Saya kasihan, anak itu masuk perpustakaan sambil kebingungan. Setelah buku itu ada, anakitu wajahnya cerah. Kalau melihat anak yang wajahnya cerah karena menemukan buku yang dicari, saya senang”.
Sekitar lima bulan berjalan, alhamdulillah istri akhirnya mau membantu mengelola perpustakaan. Karena ia melihat saya orangnya susah diatur [tertawa]. Mungkin istri pusing juga karena saya jadi tidak disiplin. Kalau berjualan gorden tidak lama saya sudah pulang, karena yang dipikirkan bagaimana kalau ada anak meminjam di perpustakaan tidak ada yang melayani. Kalau dibiarkan terus, saya malah tidak akan dapat uang, karena cuma berkeliling sebentar sudah kembali ke perpustakaan [tertawa]. Maka istri menggantikan menjaga perpustakaan bersama anak sulung, kalau saya sedang berkeliling.
Tahun 2005, di luar dugaan, Perpustakaan Sariwangi dinobatkan sebagai pengelola perpustakaan terbaik se-Bandung. Saya diundang untuk menerima hadiah di kabupaten. Saya tidak punya sepatu untuk menghadap bupati. Karena saya ke mana-mana selalu pakai sandal. Sampai malam saya pinjam ke saudara dan tetangga, tapi ukurannya tidak ada yang pas. Sedangkan esoknya harus berangkat pagi ke kabupaten. Hingga istri saya bilang, pakai saja uang simpanan untuk belanja harian. Saya tidak membeli sepatu mahal, karena perlu sisa untuk disimpan dan untuk ongkos ke kabupaten. Sepulang dari kabupaten, ternyata ongkos pulang tidak cukup. Saya hanya bisa naik angkot sampai Banjaran. Untuk naik kendaraan lain ke desa Arjasari, uang sudah habis. Saya berdiri saja di jalan sambil membawa kardus tertutup, hadiah dari bupati. Tiba-tiba ada tetangga lewat. Dia menegur, Ayi kamu keren banget pakai batik dan sepatu (tertawa). Akhirnya saya pulang berboncengan dengan tetangga itu. Sampai di rumah, saya dan istri membuka kardus itu. Setelah terbuka, ternyata didalamnya buku-buku bekas.  
Ini saya jadikan motivasi. Waktu itu saya berjanji pada diri sendiri. Ya Allah, berikanlah saya rejeki yang banyak. Meski tidak ada biaya, saya ingin perpustakaan tetap berdiri. Tiap malam saya berpikir, bagaimana caranya perpustakaan bisa berdiri tegak, tapi keluarga saya juga bisa terurus. Itulah juga doa saya. Saya yakin andaikata berbuat kebaikan, maka Allah akan memberikan kebaikan dan jalan. Maka saya tetap mengelola perpustakaan. Walau kerabat ada yang mencemooh “buat apa harus mikirin orang lain, menyuruh orang membaca, kayak orang kaya aja. Kalau orang kaya sih pantas, kamu kan hidupnya saja kayak begitu”.
Saat anak-anak datang membaca, ada kepuasan tersendiri. Anak-anak yang datang untuk mengerjakan tugas dari guru, ketika melihat buku yang diperlukan ada di perpustakaan, mereka senang sekali. Atau saat melihat anak yang mulanya belum bisa baca, tiba-tiba dia masuk perpustakaan. Lalu belajar membaca, dan akhirnya bisa membaca. Gurunya juga senang karena anak itu jadi bagus bacanya. Bagi saya hal-hal seperti ini merupakan kebahagiaan yang tidak bisa dinilai dengan uang.
Saya sempat bingun dan sedih, sewaktu di tahun 2005, kakak saya mengatakan kios tempat perpustakaan mau dipakai. Saya harus pindah. Tapi mau pindah kemana, saya tidak punya dana sama sekali. Saat itulah tiba-tiba datang wartawan sebuah surat kabar yang ingin wawancara. Setelah wawancara dimuat, di luar dugaan datang wakil suatu yayasan ke perpustakaan. Mereka menanyakan harapan saya. Saya katakan bahwa andaikata saya punya uang, saya ingin punya perpustakaan yang layak. Di akhir obrolan, ternyata wakil dari yayasan itu mengatakan bahwa mereka ingin memberikan dana untuk mendirikan perpustakaan yang layak itu (terdiam). Saya benar-benar tidak menduga. Saya sangat bersyukur. Allah Maha Besar.
Alhamdulillah. Dulu, ketika ‘kampanye’ soal pentingnya membaca, kadang menerima cibiran “tukang gorden aja belagu, pake bicara minat baca segala”. Tapi setelah perpustakaan berkembang, terjadi sebaliknya. Banyak yang mengatakan ingin belajar. Kami juga mempunyai kelompok Petani Membaca. Karena mereka mungkin bukan malas membaca, tetapi terkendala masalah akses dan dana.

No comments:

Post a Comment

Pages

Gabung Yuk....