Pak Dul demikian panggilan akrabnya. Dia bekerja sebagai seorang pedagang hasil pertanian seperti sayur, beras dan rempah-rempah. Pekerjaanya telah dijalaninya sejak masih muda hingga memiliki enam orang anak.
Di desa, dia terkenal sebagai pedagang yang sukses, karyawannya mencapai puluhan yang rata-rata laki-laki. Dia tergolong yang sukses sehingga mampu menyekolahkan dan mengirim anak pertamanya ke Pondok Pesantren Al Qur'an. Tetapi bisnis yang dijalaninya lama kelamaan mengalami banyak masalah. Kerugian mulai dirasakannya bahkan beberapa asetnya seperti tanah sudah harus dijual.
Pada masa-masa awal bisnisnya cukup berkembang. Hal itu ditandai dengan bertambahnya aset seperti sejumlah tanah dan aset lain yang sempat dibelinya dari hasil jerih payah usahanya. Dari perkembangan bisnisnya, akhirnya tidak sedikit juga tawaran pinjaman dana untuk pengembangan bisnisnya dari bank-bank pemerintah maupun bank swasta telah diterimanya.
Bisnisnya mulai merugi sehingga angsuran-angsuran yang harus disetorkan ke bank tidak lagi lancar. Satu persatu asetnya sudah mulai lepas untuk menutup hutang-hutang ke bank. Dan akhirnya Pak Dul Said harus menutup semua aktivitas dagangnya dan dia terpaksa menekuni pekerjaan yang ada yaitu menjadi buruh tani.
Untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan sekolah enam orang anaknya, sesekali Pak Dul Said mencoba berjuang dengan menjalankan sisa bisnisnya sambil menjadi buruh tani. Tetapi sisa usahanyapun semakin hari semakin merugi sehingga menambah terjebak dalam lingkaran hutang piutang.
Anak pertamanya gagal menyelesaikan sekolah menengah pertama dan pendidikan pesantrennya. Bahkan anak kedua sampai anak keenam tidak satupun yang bisa melanjutkan sekolah ke jenjang sekolah menengah pertama karena kebangkrutan usaha orang tuanya itu. Akhirnya anak-anaknya satu persatu merantau untuk mencari pekerjaan.
Suatu ketika Pak Dul Said didatangi debt kolektor yang menagih hutangnya. Sama seperti dengan namanya, debt kolektor memaksa menagih Pak Dul Said dengan cara tidak bersahabat dan tidak ramah. Akan tetapi Pak Dul sudah tidak ada lagi uang yang tersisa apalagi barang yang bisa dipakai untuk membayar seluruh hutangnya. Akhirnya 3 ekor kambing sisa hartanya terpaksa juga dibawa debt kolektor.
Berapa hutang Pak Dul Said sebenarnya ? dia berkisah bahwa pada awalnya dia hanya berhutang Rp. 2.5 juta akan tetapi akibat bunga yang tinggi dan denda yang tidak terbayarkan maka hutangnya mencapai Rp.35.juta dalam hitungan waktu yang cukup lama.
"Dari mana saya harus membayar hutang sebanyak itu? kata Pak Dul Said sambil sesekali mengelus keningnya yang mulai keriput. Tampaknya dia merasa berat mengingat kejadian yang membuatnya menjadi menderita, malu dan terhina akibat hutang yang melilit hidupnya itu.
Tetapi kehendk Allah SWT sangat luar biasa. Barangkali Allah SWT menginginkan saya untuk menikmati hidup di masa tua," katanya sambil menghela nafas panjang.
"Suatu ketika anak saya yang nomor lima yang sudah lama di perantauan tiba-tiba pulang dan mengetahui ada surat tagihan dan lengkap dengan angka yang harus dibayar yaitu Rp. 35 juta diatas pintu kamar saya,"
"Begitu anak saya membacanya, ia langsung menangis. Sebab, ia baru tahu bahwa tanggungan pokok yang semula hanya Rp 2,5 juta ternyata sudah beranak pinak dan harus dibayar dengan jumlah yang sangat tinggi. Ketika melihat surat itu, saya seakan tak percaya," kata Pak Dul.
Keesokan harinya, anaknya mengajak kakaknya untuk menemui direktur bank tersebut untuk bernegosiasi. "Dengan bekal uang sejumlah Rp.2, 5 juta, ia melakukan negosiasi agar hutang ayahnya segera dinyatakan lunas, Sebab pihak keluarga dan anak-anaknya hanya mempu membayar tanggungan pokoknya saja," katanya.
"Kami datang untuk meminta kebijaksanaan dari bapak. Ayah saya tidak mungkin mampu membayar hutang sebanyak itu. Kami hanya bisa membayar hutang pokoknya saja 2,5 juta, jika bapak bersedia silahkan diterima,"begitu negosiasi yang dilakukan anak Pak Dul..
Jawaban pihak bank ternyata tidak memuasakan karena tetap memperlakukan Pak Dul sebagai nasabah aktif bukan nasabah pailit. Jawaban tersebut diangapnya sebagai jawaban yang tidak kooperatif "Kalau Bapak tidak mau, kami tidak akan datang lagi kesini. Dan kami tidak akan lagi berurusan dengan bank ini sekalipun bapak membawa debt kolektor ataupun polisi, "katanya sambil menahan emosi.
Beberapa bula kemudian pihak bank memberi tahu dan menyerahkan surat tagihan yang jumlahnya semakin membengkak, tapi semua anggota keluarga Pak Dul Said sepakat untuk tidak lagi membicarakan tentang hutang tersebut.
Dua tahun lamanya tidk ada penyelesaian, tetapi hidayah Allah SWT akhirnya datang. Suatu ketika Pak Dul Said mendapati tetangganya yaitu Pak Zainal yang sakit berat karena komplikasi jantung, ginjal dan liver. Komplikasi penyakit yang diderita tetangganya itu membuat hatinya tersentuh. Sekalipun Pak Dul Said tidak memiliki uang yang cukup tetapi keinginannya untuk menolong tetangganya berobat ke dokter sangatlah kuat.
Setiap hari Pak Dul mengunjungi tetangganya yang sakit iru bahkan ia selalu mengantarkanya berobat ke Puskesmas terdekat.
Satu tahun telah berlalu, Pak Dul senantiasa mendampingi Pak Zainal yang kondisinya kesehatannya semakin hari semakin buruk. Terakhir, Pak Dul harus memeriksakan tetangganya ke rumah sakit dengan biaya yang sangat besar. Dengan keberanian dan ketulusan untuk menolong maka Pak Dul Said membawa Pak Zainal berobat ke rumah sakit dengan biaya yang dikumpulkan dari hasil kerja kerjanya sebagai buruh tani.
Hari-hari berlalu Pak Dul tidak lagi mengingat berapa penghasilanya, berapa yang harus disisihkan untuk hutang, dia hanya asyik merawat Pak Zainal yang sakit.
Ketulusan Pak Dul Said rupanya membuahkan hasil, suatu saat ada petugas bank datang ke rumahnya dengan menyerahkan surat keterangan penetapan senagai nasabah pailit dengan total tanggungan hutang sebesar 4,5 juta rupiah.
Kebahagiaan dan kesedihan bercampur aduk alam hatinya. Seakan ada energi baru yang yang mengembalikan harapannya. Keinginan dan harapan untuk membayar semua hutangnya pulih kembali.
Pekerjaan sebagai buruh tani dengan tenaga yang pas-pasan membuatnya tidak patah arang untuk membayar seluruh hutannya.
Pak Dul dapat mengangsur hutangnya sebesar Rp. 50.ribu setiap bulannya, sehingga seluruh hutangnya dapat terlunasi. "Saya merasa seperti terlahir kembali dari kegelapan hidup. Saya telah menanggung beban yang cukup berat selama kurang lebih 50 tahun," kata Pak Dul mengakhiri cerita nya di sore itu.
Rupanya keihlasan dan ketulusan merawat orang lain secara tidak sadar membawa Pak Dul Said kepada sedekah tenaga, pikiran sekaligus materiil. Sedekah yang luar biasa yang sebetulnya tidak disadari sendiri oleh Pak Dul Said. Beban berat hampir 50 tahun yang akhirnya terbayarkan oleh sedekah....Subhanalloh...
No comments:
Post a Comment