Sebagaimana
pada umumnya kaum tradisionalis, kehidupan penulis pun bagitu kental
dengan tradisi-tradisi yang ada, semisal Yasinan, Tahlilan, Istighasahan
dan lainnya. Dulu sewaktu saya hanya mengenal Muhammadiyah, NU,
Al-Irsyad, LDII dan Al-Khairiyah, saya selalu memimpin acara tahlilan di
tempat saya.
Saya
anggap acara itu sebagai bacaan dzikir yang baik. Kalau toh tidak
sampai kepada mayat, pahalanya juga bisa dimanfaatkan secara pribadi
oleh para pembacanya.
Hal itu terjadi setelah saya kenal dengan Ust. Habib Husain Al-Habsyi-Bangil (yang sekarang masih berkubang dalam lumpur kesyirikan. Semoga Allah memberi hidayah kepadanya). Waktu itu saya menjadi salah satu guru di pondok tempatnya mengasuh.
Sebelum itu, saya termasuk kolot. Saya selalu mengikuti apa yang diikuti oleh guru-guru
saya. Saya termasuk juga hafal Burdah, Barzanji, Tahlilan, Alfiyah, dan
Imrithi. Dan banyak kitab kuning yang saya sudah ngelontok (hafal di
luar kepala). Waktu itu saya tidak khawatir bila saya mati, saya akan masuk surga. Saya waktu itu menjadi penceramah
di kalangan remaja NU di Sidomukti Giri Gresik-Jatim. Saya tidak
khawatir lagi bila malaikat maut datang sebab saya ikut agama kakek dan
nenek saya.
Ketika
saya pulang dari ponpes, saya ikut diba`an. Di ponpes pun saya juga
tiap malam Jum’at ikut diba`an dan tahlilan. Bahkan saya hafal betul,
sampai sekarang kalau ada orang baca
diba` keliru, saya masih mengerti kalau dia keliru. Kumpulan saya
memang hanya dari kalangan Tradisionalis. Dan saya mengikuti budaya
mereka. Saya tidak mengerti salah, bid’ah, sesat dan kesyirikan dalam
amaliah yang saya jalankan.
Menjadi
seorang Ahlussunnah adalah impian bagi setiap muslim. Sebab Apa? Karena
hanya Ahlussunnah-lah firqah yang benar. Meskipun secara aqidah dan
amaliah mereka berkata lain, yang justru berlandaskan penyimpangan demi
penyimpangan (Syirik, Bid’ah, khurafat dan Tahayul). Oleh karena itu,
kita mendapati setiap kelompok dalam Islam pasti mengklaim diri mereka
sebagai Ahlussunnah (kecuali Syi’ah). Betul apa betul??.
Dan
inilah yang dialami Penulis. Ketika hidayah Sunnah menyapa, beliaupun
menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau menuturkan, “Sewaktu kyai
saya datang ke rumah, ketika saya membaca buku fatawa Mahmud Syaltut, Kyai saya bilang, “Jangan membaca kitab seperti itu!” (Propaganda pertama yang keluar dari Khittahnya yang Mulia)
Mungkin maksudnya agar saya mengikuti paham salafiyyah ala pesantren, dan masih belum waktunya untuk membaca
buku seperti itu. Sebab, Syaltut adalah rektor Al-Azhar yang pikirannya
terbuka dan memilih yang benar dari beberapa pandangan ulama, tidak
terikat kepada salah satu golongan. Saya sudah memegang buku bahasa
karangan bahasa Arab karangan rektor Al-Azhar itu ketika usia saya baru
16 tahun.”
Beliau
melanjutkan, “Bila saya bertemu dengan kyai, saya mencium tangannya.
Saya tidak berani berbicara di mukanya. Memang begitulah budaya santri.
Sekarang saya sudah mengerti bahwa para sahabat bila bertemu dengan
Rasulullah tidak pernah mencium tangan. Dan saya belum tahu haditsnya
dimana para sahabat mencium tangan Rasulullah.”
Selama
40 tahun Penulis berkubang di dalam tradisi dan amaliah yang bid’ah dan
syirik. Namun hidayah datang kepada beliau. Beliau menceritakan keadaan
dirinya saat ini, “Sekarang saya sudah bisa mengkaji ilmu dan bisa
mencari mana yang benar karena anugerah dari Allah dan rahmat-Nya. Saya
pilih mana yang tidak menyimpang dan yang cocok dengan dalil. Saya jadi
geleng-geleng kepala ketika mengenang perbuatan saya waktu dulu. Pikir
saya, mengapa tidak dari dulu saya ikut aliran Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Ah…itu semua tidak bisa diperkirakan.”
“Hati saya berontak dengan ajaran tradisional, tapi mulut saya tidak bisa bicara. Pikiran
tidak cocok, tapi mau mendebat tidak punya ilmu. Setelah banyak
pengalaman, ilmu saya selalu diluruskan dengan dalil dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Maka ilmu tradisional yang telah mendalam di lubuk hati dan pikiran waktu dahulu, kini terbuang. Entah kemana, mungkin ke tong sampah.
Saya
yang dulu lain dengan yang sekarang. Ilmu saya dulu ngambang, mengaku
benar tapi menurut saya sendiri dan golongan saya. Bila saya mati, saya
sudah merasa yakin akan masuk surga menurut pemahaman saya dan golongan
saya. Jadi surga-surgaan sebagaimana layaknya orang non-muslim mengaku
akan masuk surga. Inilah yang saya khawatirkan.”
“Di saat saya belum berpikir sebagaimana pemikiran Ahli Hadits (yakni Ahlussunnah-pen), ilmu saya hanya taklid, tidak ingin ada pikiran
untuk mengkaji suatu hadits atau suatu ajaran dan tidak ada agenda
kesana. Atau memang belum mendapatkan pertolongan dan hidayah dari Allah
untuk membuang bid’ah, syirik, khurafat, taklid buta, menolak hadits,
menolak ajaran “baru” yang benar yang menghapus khurafat dan ajaran
sesat dari hati saya”, lanjut beliau.
Beliau
menerangkan lagi, “Apalagi menurut Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Muqbil
bin Hadi Al-Wadi’iy(rahimahumullaah, semuanya adalah nama-nama ulama
Ahlusunnah yang tidak dikenal oleh kalangan Nahdliyin, padahal
orang-orangnya mengaku diri mereka sebagai Ahlussunnah-ed), maka saya
termasuk penyembah kuburan, suka kebid’ahan dan matinya berbahaya.”
Akhirnya
beliau tinggalkan seluruh ritual dan amaliah yang bid’ah dan syirik
yang dahulu beliau amalkan ketika masih berpaham Kolot. Dan sekarang
beliau senantiasa mendakwahkan kepada manusia bahwa amalan-amalan yang
mayoritasnya diamalkan oleh kaum Nahdhiyin adalah bid’ah dan harus
ditinggalkan.
Jalan
hidayah tidaklah selalu mulus. Akan ada penghalang dan penentang yang
tidak setuju apabila seseorang mengubah keyakinannya yang semula
berkubang dengan kebid’ahan dan beralih kepada manhaj Ahlussunnah yang
haq. Demikian juga yang dialami oleh Penulis. Beliau menuturkan,
“Sekarang saya ikut aliran ahli hadits(ahlussunnah-ed), disalahkan oleh
ibu saya, keluarga saya dan golongan saya dulu. Saya pikir di dunia ini
yang penting adalah lurus dan ajaran saya cocok dengan Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Dan yang jelas harus beda dengan ahli bid’ah.”
Melalui penanya yang tajam, beliau mengkritisi setiap tradisi dan amaliah menyimpang yang banyak dilakukan oleh kaum tradisional.
Bukan hanya dari kalangan awwam saja, namun dari para tokoh yang
dijunjung tinggi pun masih banyak yang bergelimang dalam kebid’ahan.
Inilah
sosok seorang Kyai yang telah kembali kepada ajaran Islam yang murni,
Ahlussunnah yang sesungguhnya. Ya, Ahlussunnah. Dinamakan demikian karena Ahlussunnah adalah lawan dari bid’ah
dan ahlinya. Kalau ada golongan atau kelompok yang berkubang dalam
kebid’ahan namun mereka mengklaim diri mereka sebagai Ahlussunnah, maka
klaim itu hanya sebatas klaim..................DUSTA.
sumber : http://www.situslakalaka.info/2012/01/mungkin-ini-yang-di-alami-sebagian.html
No comments:
Post a Comment