Masih gadis sudah tidak perawan? Tak perlu mengernyitkan dahi. Saat ini perempuan belum menikah tapi sudah tidak virgin bukanlah barang langka. Survey terbaru yang dilakukan lembaga internasional DKT bekerja sama dengan Sutra and Fiesta Condoms mengungkap, remaja tak lepas dari seks bebas.
Buktinya, 462 responden berusia 15 sampai 25 tahun semua mengaku pernah berhubungan seksual. Semua, 100 persen! Dan, mayoritas mereka melakukannya pertama kali saat usia 19 tahun. Survey dilakukan Mei 2011 di Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali, dan Yogyakarta (Republika.co.id, 12/12/2011).
Selanjutnya, data yang diungkap lebih miris lagi. Yakni, sebanyak 88 persen hubungan seks dilakukan bersama pacar, 9 persen dengan sesama jenis (terutama wanita), dan 8 persen dengan PSK (untuk pria). Umumnya mereka melakukan zina di tempat kos (33 persen), hotel atau motel (28 persen), sementara rumah 24 persen. Lama pacaran mereka sebelum berhubungan seksual, rata-rata satu tahun.
Perzinaan agaknya sudah menjadi gaya hidup sebagian warga berhaluan LIBERAL di Republikini. Tepatnya, sejak kran liberalisasi di berbagai bidang dibuka, life style ala Barat yang sarat dengan gelagak syahwat turut menjadi penumpang gelap. Dilegalkan tidak, tapi merebak di mana-mana. Pornografi, pornoaksi, pelacuran, permesuman dan hiburan maksiat, begitu dekat, mengulik urat syahwat.
Tak peduli lelaki baru baligh, atau gadis bau kencur, jika saraf-saraf nafsunya sudah diobrak-abrik, apa pun dilakukan. Jika pintu legal pernikahan begitu terjal, zina gratis jadi pelampiasan. Toh suka sama suka, saling menguntungkan, tak ada yang dirugikan. Dan lebih penting, toh takketahuan. Boro-boro dikenai rajam atau sekadar dikucilkan, dengan bangga pelaku zina mem-videokan adegan vulgarnya.
Bagaimana dengan memperkosa? Memang terlalu berat risikonya. Kalau zina suka sama suka, tidak ada delik pidananya. Perkosaan hanya dilakukan mereka yang “kebelet” melampiaskan nafsu tapi tak punya pacar, atau tak punya uang untuk membayar pelacur. Juga, yang tak kuatnikah karena biaya administrasinya mahal, atau tak punya calon saking tak lakunya.
Dan, di negeri ini, tipe seperti inipun tak kalah banyaknya. Fenomena pemerkosaan di angkutan umum adalah salah satunya. Korbannya sudah banyak berjatuhan, perempuan semakin terancam di luar sana. Kejahatan seksual mengintai setiap detik. Kalau tak diperdaya dengan rayuan gombal, dicaplok para pemerkosa. Duh!
Omong kosong jika negara melindungi warganya. Yang ada bukannya melarang, malah merangsang mereka untuk menjadi penikmat syahwat. Memblokir situs porno hanya sebatas niat. Baru sejenak sudah jebol lagi. Bahkan dipelopori jajaran pejabat sendiri (ingat kasus anggota DPR yang ketahuan mengakses situs porno saat sidang?).
Jangan heran jika kita membaca berita, tiap hari selalu ada episode-episode anyar video-video mesum amatir dengan aktor-aktris muda-mudi yang dimabuk asmara, pelajar kurang ajaran, atau pasangan selingkuh.
Sekali lagi, negara justru menggelontorkan kebijakan yang memperlonggar perzinaan. Media massa, novel, komik, iklan, lukisan, sinetron, film, foto, lagu dan tayangan realty show bertema cabul pun bebas beredar. Tidak akan dibredel sekalipun sudah protes massal oleh masyarakat. Pelacuran, eksploitasi aurat perempuan, dan tempat-tempat hiburan yang menjajakan syahwat, dibiarkan. Tidak akan ditutup asal menyumbang pajak.
Di sisi lain, negara membuat berbagai larangan untuk menyumbat penyaluran syahwat dengan cara-cara legal. Usia pernikahan terus dinaikkan, biaya nikah dimahalkan dan syarat penikahan diperketat. Termasuk, upaya pelarangan poligami sekalipun bagi mereka yang mampu.
Jika pembaca jeli, inilah sebenarnya yang diharapkan negara liberal ini: industri porno menggeliat, zina dini meningkat, pemerkosaan berlipat, kehamilan di luar nikah tumbuh cepat, aborsi dipersingkat, dan lahirlah generasi generasi bejat.
Persis di Barat, yang kini di ambang kebinasaan. Akankah Republik ini diam saja menunggu saat yang sama?
Fenomena di atas tentu bukan perkara remeh. Muda-mudi calon pemimpin masa depan, sudah sedemikian amoral. Berani menghalalkan zina yang jelas-jelas diharamkan. Anehnya, terhadap persoalan ini, hampir tidak ada yang menuding sistem hidup sekuler-liberallah yang menjadi akar masalahnya. Padahal sistem inilah yang “mewajibkan” remaja pacaran, hingga merasa tak gaul tanpa berhubungan badan dengan pujaan hatinya.
Sistem inilah yang mengajarkan, bahwa perempuan harus membuka auratnya, mempertontonkan kepada lelaki bukan mahromnya. Sistem inilah yang memandu tumbuh kembang remaja, tanpa didampingi kedua orangtuanya yang sangat sibuk digilas roda perekonomian. Sistem inilah yang memberhalakan materi, uang dan kenikmatan seksual.
Memang, mereka mengharapkan “agama” (baca: Islam) mampu menyelesaikan persoalan ini. Pada saat remaja ketahuan amoral, segera semua pihak berteriak “ini karena kurangnya pendidikan agama” atau “para ulama harusnya lebih berperan membina akhlak remaja” dan para guru dan orangtua harus menanamkan nilai-nilai moral lebih intens pada anak-anaknya.”
Agama dijadikan tong sampah saja, sekadar untuk memperbaiki keadaan yang sudah rusak. Anak nakal dan bandel, dikirim ke pesantren. Image pesantren sebagai pendidikan mulia pun babak belur. Terlebih lagi, pada saat yang sama diopinikan bahwa pesantren adalah “produsen” teroris. Lulusan pesantren, orang-orang mukhlis itu, didakwa membahayakan eksistensi negara. Sementara para pelaku maksiat dianggap pahlawan penyumbang devisa.
Tapi, baiklah, agama (baca: Islam) bersedia memperbaiki keadaan. Bahkan punya sulosi komprehensif untuk menuntaskan segala persoalan. Bukan hanya mengatasi perzinaan, itu terlalu “mudah.” Bahkan mengatasi kemiskinan, kelaparan, ketimpangan sosial, kriminalitas, dll, serahkan saja padanya.
Tapi, mengapa ketika Islam -yang dipeluk mayoritas penduduk negeri ini– mengajukan syariatnya sebagai solusi, dicap mengancam eksistensi negara, radikal, ekstrimis, intoleran, bahkan antipemerintah? Kenapa negara dengan setia menerapkan sekulerisme, padahal sekulerisme itu sendirilah yang melahirkan semua kebobrokan sosial ini?
Sebaliknya, kenapa menuduh ideologi Islam, yang belum pernah diberi kesempatan memerintah negeri ini, dengan tuduhan-tuduhan miring? Tampak jelas, siapa yang bermuka dua, antara butuh dan tidak butuh terhadap Islam. Dan akan lebih baik lagi pembaca tanyakan pada nurani mereka yang sering menggembosi dan menghadang penegakan syariat islam, tanyakan pada mereka yang mengakui "kesaktian" Pancasila, ketimbang AL QURAN yang mulia.
Ingat-ingatlah duhai pembaca, kalau kalian mengerti, pertarungan di tingkat pemikiran ini sudah lama berlangsung, dan sedang berkecamuk dengan dahsyat, kapan lagi kita hendak merapatkan barisan ? menunggu babak belur ?????
Kita adalah umat terbaik yang pernah dilahirkan, jangan pedulikan tong kosong yang hanya bisa menanam PADI (kebaikan) sedangkan RUMPUT (pangkal kerusakan) mereka biarkan tumbuh subur, biarlah mereka memanen RUMPUT, toh kerugian mereka sendiri yang tanggung. Tetapi jangan sampai pola pikir mereka yang terbalik menguasai kita, mereka yang islam rohmatan lil alaminnya sekedar di mulut saja.
Inilah tanda-tanda akhir zaman. Ketika perzinaan merajalela dan masyarakat menganggapnya biasa. Kalau sudah begini, Republik ini tinggal menunggu BINASA. Dan mereka hanya bisa saling lempar tanggung jawab.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Demi Allah yang diriku di tangan-Nya, tidaklah akan binasa umat ini sehingga orang-orang lelaki menerkam wanita di tengah jalan (dan menyetubuhinya) dan di antara mereka yang terbaik pada waktu itu berkata, “alangkah baiknya kalau saya sembunyikan wanita ini di balik dinding ini.” (HR. Abu Ya’la. Al Haitsami berkata, “perawi-perawinya shahih.” Lihat Majmu’ Zawaid: 7/331)
No comments:
Post a Comment