Kätlin Hommik lahir dari keluarga yang
menganut agama Kristen di Estonia. Tapi Estonia ketika Hommik masih
kanak-kanak, berada dibawah kekuasan Uni Soviet yang berideologikan
komunis, dimana agama menjadi hal yang tabu dan tak seorang pun boleh
membicarakan soal agama.
Satu
hal yang masih diingat Hommik, ketika ia berusia tiga tahun dan
menanyakan pada ayahnya, “Akan jadi apa saya saat mati?”. Hommik melihat
wajah ayahnya tercengang mendengar pertanyaannya. “Bagaimana bisa anak
usia tiga tahun mengajukan pertanyaan seperti ini,” begitu mungkin yang
terlintas di benak sang ayah.
Ayahnya
tak memberi jawaban yang memuaskan Hommik kecil. Di tengah kehidupan
masyarakat yang berada dibawah kekuasaan komunis yang tak percaya Tuhan,
ayah Hommik hanya memberikan jawaban singkat dan sederhana, “Anakku
sayang, kamu hanya akan dikubur di dalam tanah …”
“Saya
tidak pernah mendengar hal yang tidak logis dan menyeramkan seperti
jawaban ayah saya pada hari itu. Jawaban yang membuat saya mencari
kebenaran, meski waktu itu saya baru berumur tiga tahun. Tapi jalan
panjang membentang di hadapan saya. Saya tahu, atau sebenarnya merasa
bahwa Tuhan itu ada, meski saya tidak bisa harus menyebut-Nya dengan
sebutan apa,” tutur Hommik.
“Saya
tahu Tuhan selalu ada, mengamati saya. Kalau saya harus menjadi seorang
anak perempuan yang baik, itu bukan untuk kedua orang tua saya, tapi
buat Tuhan, karena Dia-lah satu-satunya yang melihat saya dimanapun saya
berada, bukan orang tua saya,” lanjut Hommik.
Memasuki
masa sekolah, Hommik makin sering mengajukan pertanyaan-pernyataan
rumit yang tidak mampu dijawab ayahnya. Sang ayah lalu menyuruh Hommik
bertanya pada nenek dari pihak ayah. Nenek Hommik lahir ketika Estonia
baru lahir sebagai negara Republik, sehingga sang nenek sempat merasakan
dibaptis seperti anak-anak lainnya yang beragama Kristen. Neneklah yang
pertama kali mengatakan pada Hommik untuk menyebut “Tuhan” yang selama
ini ada dalam pikiran Hommik dengan sebutan Tuhan.
“Nenek
juga yang mengajarkan saya doa dalam agama Kristen ‘Bapak kami yang ada
di surga’. Tapi nenek meminta saya untuk tidak membacanya di depan umum
atau di depan orang tua saya, karena jika saya melakukan itu, akan jadi
masalah. Saya berjanji pada diri sendiri untuk belajar agama Kristen
lebih banyak seiring saya tumbuh dewasa,” ungkap Hommik.
Ketika
usia Hommik 11 tahun, Estonia merdeka dan lepas dari Uni Soviet. Hommik
mewujudkan niatnya belajar agama Kristen. Ia lalu mendaftarkan diri ke
sekolah Minggu yang diselenggarakan gereja. Sayangnya, pihak Sekolah
Minggu mengeluarkan Hommik, karena ia dianggap terlalu banyak bertanya
hal-hal yang oleh gereja dianggap tidak pantas ditanyakan, karena
menunjukkan Hommik tidak yakin akan agama yang dipelajarinya.
“Saya
betul-betul tidak mengerti mengapa mereka mengeluarkan saya. Saya
merasa tidak ada yang salah dengan pertanyaan saya. Saya cuma ingin tahu
mengapa Yesus Kristus disebut anak Tuhan, padahal ‘Tuhan’ tidak
menikahi Maria. Lalu, mengapa Adam tidak disebut anak Tuhan, meski dia
juga tidak punya ibu dan bapak. Tapi rasa ingin tahu saya ini dianggap
terlalu berlebihan oleh guru saya,” ujar Hommik menceritakan
pengalamannya di Sekolah Minggu.
Ketika
menginjak usia 15 tahun, Hommik mulai belajar agama Kristen sendiri. Ia
menganggap dirinya sebagai seorang Kristiani. Tapi ia akhirnya
menyadari bahwa ia tidak bisa menganggap dirinya seorang Kristiani
karena ada banyak hal yang tidak bisa ia terima dalam ajaran Kristen.
Hommik lalu berpikir untuk mencari sesuatu yang lain.
Setelah
mempelajari beragama agama dan keyakinan, Hommik akhirnya menemukan
Islam. Pengalamannya kecewa dengan ajaran Kristen, membuat Hommik cukup
lama belajar Islam sebelum benar-benar meyakininya. Waktu yang lama itu
berbuah manis, Hommik menemukan apa yang dicarinya. Ia meyakini Islam
sebagai ajaran agama yang paling masuk akal dan ia pun memutuskan untuk
bersyahadat, menjadi seorang muslimah.
“Saya
pindah ke agama Islam setelah bulan Ramadhan pada tahun 2001. Bulan
Ramadhan adalah masa-masa yang indah. Orang berpuasa, menahan diri dari
kesenangan fisik, memikirkan orang-orang yang kurang beruntung
dibandingkan kita. Itulah yang saya rasakan tentang hidup saya sebelum
menjadi seorang muslim. Saya berpuasa dari apa yang paling dibutuhkan
oleh manusia, puasa dari ‘makanan’ yang dibutuhkan jiwa dan pikiran,”
ujar Hommik.
Ia
menyambung, “Saya betul-betul tidak punya penjelasan yang logis,
mengapa saya masuk Islam setelah Ramadan, bukan sebelum atau pada saat
Ramadan. Saya berpuasa sebulan penuh, lalu masuk Islam. Saya pikir, saya
harus membersihkan diri saya, saya harus mengambil langkah terakhir
untuk menerima sebuah kesempurnaan.”
Ketika
orang menanyakan mengapa Hommik memutuskan menjadi seorang muslim,
Hommik selalu menjawab bahwa sebelumnya ia sudah menjadi seorang muslim,
hanya saja ia tidak menyadarinya. Setelah menemukan Islam, butuh tiga
tahun bagi Hommik untuk meyakinkan siapa dirinya sebenarnya. Sekarang,
jika ada orang bertanya tentang kemuslimannya, Hommik tanpa ragu
menjawab “Ya, inilah saya, saya yang sebenarnya. Pada usia 21 tahun saya
memutuskan masuk Islam. Terima kasih pada Allah Swt !”
“Menjadi
seorang muslim itu penuh rahmat. Kita puasa satu bulan penuh setiap
tahun untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Banyak orang
di dunia ini harus ‘berpuasa’ lebih lama dalam hidupnya dalam mencari
kebenaran,” tandas Hommik. (www.eramuslim.com)
No comments:
Post a Comment