Orang tua yang memiliki
kekayaan/kemewahan yang luar biasa adalah harapan banyak anak-anak,
tetapi apakah kita mengetahui bahwa jauh di lubuk hati anak-anak
tersebut tersimpan suatu harapan yang lebih besar daripada sebuah
kekayaan dan kemewahan?
Dicintai,
disayangi dan perhatian dari kedua orang tua mereka, itulah harapan
terbesar anak-anak. Keberhasilan mereka sangat ditentukan dari berapa
besar cinta dan perhatian yang diberikan orang tua mereka kepada
mereka.
Cinta dan perhatian bukan
berbicara mengenai banyaknya fasilitas yang diberikan kepada anak
seperti: Mobil, credit card, dll. Cinta dan perhatian yang tuluslah
yang menyebabkan seorang anak miskin bisa bertahan dan menghadapi
hidup hingga mereka menjadi seorang yang berhasil.
Karir orang tua yang luar
biasa tidaklah salah, akan tetapi ketika orang tua sudah tidak
memiliki lagi waktu untuk anak-anak mereka, waspadalah dan sebaiknya
kita belajar dari pengalaman orang lain sebelum kita terlambat dan
menyesal
Berikut kesaksian (kisah
nyata) dari seorang ibu yang baru saja kehilangan anak perempuannya.
Semoga kita bisa memetik hikmah dibalik kisah ini.
Saya seorang ibu dengan 2
orang anak, mantan direktur sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin
anda termasuk orang yang menganggap saya orang yang berhasil dalam
karir namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan
berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap
apa yang saya raih sungguh sia-sia.
Semuanya berawal ketika putri
saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena
overdosis narkotika. Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya,
suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena
stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini.
Putera saya satu-satunya juga
sempat mengalami depresi berat dan sekarang masih dalam perawatan
intensif sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul
dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang bisa saya harapkan.
Kepergian Maya dikarenakan dia
begitu guncang dengan kepergian Bik Inah pembantu kami. Hingga dia
terjerumus dalam pemakaian Narkoba.
Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak begitu hebat pada putri kami.
Harus saya akui bahwa bik Inah
sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah ikut bersama kami sejak
20 tahun yang lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya
dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri.
Ini semua saya ketahui dari
buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal. Maya begitu
cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi
hal ini. Dan ketika saya sakit (saya pernah sakit karena kelelahan
dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu), Maya hanya menulis
singkat sebuah kalimat di buku hariannya “Hari ini Mama sakit di Rumah
sakit”, hanya itu saja.
Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul.
Tapi saya akui ini semua
karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya
dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak
berpikir tentang keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka.
Berangkat jam 07:00 dan pulang
di rumah 12 jam kemudian, bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai
rumah rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan urusan mereka.
Memang setiap hari libur kami
gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial
dan rutinitas saja, ketika hari Senin tiba saya dan suami sudah
seperti “robot” yang terprogram untuk urusan kantor.
Sebenarnya ibu saya sudah
berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk
SMA namun selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara
berpikirnya. Memang Ibu saya dulu memutuskan berhenti bekerja dan
memilih membesarkan kami 6 orang anaknya. Padahal sebagai seorang
sarjana ekonomi karir ibu waktu itu katanya sangat baik. Dan ayahpun
ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan penghasilan.
Meski jujur saya pernah
berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan
Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa
terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah
tinggi-tinggi?.
Meski sebenarnya suami saya
juga seorang yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan. Dan
biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada
Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali
seperti asal urusan kantor dan karir fokus saya. Dan kembali saya
menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh teman yang
lain di kantor juga bisa dan ungkapan “kualitas pertemuan dengan anak
lebih penting dari kuantitas” selalu menjadi patokan saya.
Sampai akhirnya semua terjadi
dan diluar kendali saya dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat
tersadar. Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai
Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya!!!
Sebuah sindiran dan protes
Maya saat ini selalu terngiang di telinga. Waktu itu bik Inah pernah
memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk
membesarkan Bagas, putera satu-satunya, setelah dia ditinggal mati
suaminya. Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami
putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami.
Pengorbanan bik Inah buat
Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu
saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi, setelah tiba-tiba jatuh sakit
kurang lebih dua minggu, bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit.
Dari buku harian Maya saya
juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika bik Inah di
Rumah Sakit. Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar bik Inah
dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan
bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya. Dan usul Doni kami
tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya kini tahu
betapa berartinya bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu kandungnya!
menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan mereka
saja ke dunia.
Tragis !
Dan sebuah foto “keluarga” di
dinding kamar Maya sering saya amati kalau lagi kangen dengannya.
Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa bik Inah. Atas
desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas
sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar
di pesantren. Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara
itu padahal dia paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor
saya atau ayahnya.
Dan difoto “keluarga” itu
tampak bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah
kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah
foto terakhirnya.
Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat
merisaukannya
dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta. Namun sebatas itu
yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan
kantor.
Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah.
Maya menulis :
“Ya
Tuhan kenapa bik Inah meninggalkan Maya, terus siapa yang bangunin
Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang nyambut Maya kalau
pulang sekolah, siapa yang ngingetin Maya buat berdoa, siapa yang Maya
cerita kalau lagi kesel di sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo
nggak bisa tidur… … Ya Tuhan, Maya kangen banget sama bik Inah”.
Bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan bik Inah ?
Sungguh hancur hati saya
membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa
kembali, seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela berkorban
apa saja untuk itu.
Kadang saya merenung
sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran utamanya.
Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.
Sungguh saya menulis ini bukan
berniat untuk menggurui siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya
semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang
merasakan musibah ini karena sungguh tiada terbayang beratnya.
Semoga siapapun yang membaca
tulisan ini bisa menentukan “prioritas hidup dan tidak salah dalam
memilihnya”. Biarkan saya seorang yang mengalaminya.
Saat ini saya sedang mengikuti
program konseling/therapy untuk menentramkan hati saya dan berkat
dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua.
Saya tidak ingin tulisan ini
sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin! Dan
bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya.
Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya.
Dan saya berjanji untuk
mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni. Dan semoga Tuhan
mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanahNya pada saya. Dan
disetiap berdoa saya selalu memohon “YA Tuhan seandainya Engkau akan
menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Tuhan,
biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku
tentram di sisiMu”. Semoga Tuhan mengabulkan doa saya.
No comments:
Post a Comment