Setiap gelap mulai turun, Siti Maimunah selalu galau. Dia tercatat sebagai santri perempuan di pondok pesantren itu. Jika malam hari, Siti tidur bersama rekan-rekan sejenis. Tapi itu adalah siksaan baginya. Setiap kali melihat tubuh para gadis yang pulas, nafsunya bergejolak.
Setiap malam dia membayangkan hal tak seharusnya: hasrat menelusuri tubuh para perempuan di kamar itu. Dia berusaha memejamkan mata, mengusir khayalan mesum. “Aku harus menahan diri tidak menubruk mereka. Itu sangat menyiksa,” ujarnya.
Tak hanya malam hari. Siksaan serupa menyergap saat menyaksikan para santri perempuan berganti baju. Siti mendadak minder. Dadanya rata, tak tumbuh seperti yang lain. Setiap kali memandang lekuk tubuh perempuan, gairahnya menyala. Birahinya mendidih.
Dalam keadaan begitu, dia memang memilih menyingkir. Tapi getaran sinting itu tetap menjalar ke sekujur tubuh. Dia mencoba menekan nafsu tersulut itu. Tapi kadang lepas juga. “Kalau sudah begitu ya aku lari ke kamar mandi,” ujarnya.
Remaja asal Semarang, Jawa Tengah, itu tersandera dalam satu pergulatan batin. Dia tak mengalami sensasi apapun saat berpacaran dengan laki-laki. Ketertarikannya justru menguat ke sosok perempuan.
“Saya merasa aneh, kok saya jadi senang dengan sesama jenis. Jadi greng kalau tidur bareng. Saya juga merasa aneh ketika melihat teman-teman lain sudah menstruasi dan payudaranya tumbuh, tapi saya belum.”
Di tengah tanda tanya itu, Siti mulai belajar tentang anatomi tubuh. Dia juga mulai paham tanda-tanda pubertas. Lalu, dia mulai sadar: ada yang salah dengan identitasnya.
Setiap malam dia membayangkan hal tak seharusnya: hasrat menelusuri tubuh para perempuan di kamar itu. Dia berusaha memejamkan mata, mengusir khayalan mesum. “Aku harus menahan diri tidak menubruk mereka. Itu sangat menyiksa,” ujarnya.
Tak hanya malam hari. Siksaan serupa menyergap saat menyaksikan para santri perempuan berganti baju. Siti mendadak minder. Dadanya rata, tak tumbuh seperti yang lain. Setiap kali memandang lekuk tubuh perempuan, gairahnya menyala. Birahinya mendidih.
Dalam keadaan begitu, dia memang memilih menyingkir. Tapi getaran sinting itu tetap menjalar ke sekujur tubuh. Dia mencoba menekan nafsu tersulut itu. Tapi kadang lepas juga. “Kalau sudah begitu ya aku lari ke kamar mandi,” ujarnya.
Remaja asal Semarang, Jawa Tengah, itu tersandera dalam satu pergulatan batin. Dia tak mengalami sensasi apapun saat berpacaran dengan laki-laki. Ketertarikannya justru menguat ke sosok perempuan.
“Saya merasa aneh, kok saya jadi senang dengan sesama jenis. Jadi greng kalau tidur bareng. Saya juga merasa aneh ketika melihat teman-teman lain sudah menstruasi dan payudaranya tumbuh, tapi saya belum.”
Di tengah tanda tanya itu, Siti mulai belajar tentang anatomi tubuh. Dia juga mulai paham tanda-tanda pubertas. Lalu, dia mulai sadar: ada yang salah dengan identitasnya.
Obsesi orangtua
Lahir 1992, Siti memenuhi obesi orangtuanya yang rindu seorang anak perempuan. Luapan gembira menyelimuti keluarga saat dukun bayi menyebut kelaminnya perempuan. Siti menjadi satu-satunya perempuan di antara empat saudara laki-laki.
“Orangtuanya memang menginginkan anak perempuan. Ndilalah waktu lahir, dia memang kayakperempuan. Nggak punya kemaluan laki-laki, jadi dia dianggap perempuan, dan dikasih nama Siti Maimunah,” kata Juminah, 75, neneknya.
Menyandang nama perempuan, Siti tumbuh feminin. Dia memakai rok. Baju berenda. Pita di rambut. Bedak di wajah. Ia pun suka mainan perempuan seperti pasaran, main boneka, dan masak-masakan.
Keperempuanan Siti kian menonjol saat orangtua mengirimnya ke pondok pesantren khusus putri di Semarang. “Dia pakai busana muslim dan jilbab,” kata Juminah.
Namun, seiring pubertas, feminitas Siti tak lagi tertolong gaya busana. Gelisah melanda saat payudaranya tak kunjung tumbuh. Menstruasi tak kunjung datang, sebagai tanda siklus bulanan organ reproduksi perempuan.
Suaranya pun berubah parau seiring munculnya jakun di leher. “Di sini Pak Ustad mulai curiga. Dia tanya apa saya laki-laki, saya menjadi bingung dan mulai tergerak mencari tahu identitas saya yang sebenarnya,” ujar Siti.
Karena kejanggalan itu, Siti mulai menggugat takdirnya. “Saat saya pacaran dengan seorang laki-laki, tak ada sensasi apapun. Tapi, saat saya berkumpul dengan teman-teman putri, saya justru merasagreng,” kata dia.
Nana Ramdhana, sahabatnya, mengatakan sejak kecil Siti memang tampil feminin. Hanya, perawakannya kuat seperti laki-laki. “Menginjak remaja suaranya berubah besar. Ia jadi sedikit minder. Apalagi banyak yang mengejeknya banci. Dia sering curhat sampai nangis kalau diejek,” ujarnya.
Selain berkeluh-kesah kepada sahabat, Siti memberanikan diri bertanya ke orangtua tentang kondisinya saat lahir. Dari cerita yang ia dapat, dukun bayi mulanya menyebut kelaminnya perempuan. Namun, sesaat kemudian mengatakan kalau ternyata laki-laki, hanya tak sempurna.
Kadung sumringah memiliki anak perempuan, orangtuanya agaknya abai dengan ralat sang dukun bayi. Mereka memutuskan membesarkan anaknya sebagai perempuan.
Apakah Siti kini marah?
“Tidak. Orang tuaku sangat lugu, yang dilakukan keduanya hanya karena keinginan mereka mempunyai anak perempuan, mereka tak pernah bersekolah jadi tidak mengira akibatnya seperti ini,” ujarnya.
Dari Siti ke Joy
Siti merasa terjebak dengan penampilan salah. Keyakinannya tak terbendung setelah menjalani operasi hernia pada 2010. “Awalnya sakit di perut bagian bawah, dokter bilang hernia, dari situ ia semakin yakin karena hernia biasanya dialami laki-laki,” kata Retno Kusmardani, sang pengacara.
Meski belum menanggalkan jilbabnya, Siti mulai berpikir memperjuangkan identitas gender yang sebenarnya. Ia bersumpah segera melakukan rangkaian tes medis selepas lulus sekolah menengah atas dan bekerja.
Ia harus sabar karena tes medis butuh biaya besar yang tak mungkin terbayar keluarganya. “Sambil nunggu lulus, saya cuma bilang ke beberapa sahabat, jangan kaget ya nanti kalau suatu saat saya berubah menjadi laki-laki,” katanya.
Lulus sekolah menengah atas, Siti segera melamar kerja di sebuah perusahaan garmen dengan nama Muhammad Prawirodijoyo. “Yang kasih nama orangtua. Setelah saya berterus terang tentang keadaan saya, mereka memilihkan nama itu untuk saya,” ujarnya. Dia kini punya panggilan baru: Joy.
Uang hasil keringat terkumpul. Ia memenuhi sumpahnya melakukan serangkaian tes di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Ia menjalani pemeriksaan organ reproduksi, darah, hormon, hingga genetika. Secara hormonal, ia 100 persen laki-laki, meski alat kelaminnya tak sempurna.
Berbekal surat keterangan medis itu, Joy lalu mendatangi kantor Kelurahan Sembungharjo. Ia utarakan maksud dan kegelisahannya. Ia juga bercerita tentang kesehariannya yang terlanjur dikenal sebagai perempuan.
Roihan, Sekretaris Kelurahan Sembungharjo, membenarkan itu. Joy datang sendiri. “Waktu itu ada anak-anak mahasiswa KKN. Agar tak menarik perhatian, ia saya ajak ke ruang tertutup. Ia lalu menyampaikan keinginannya secara wajar, tak ada ekspresi berlebih,” kata Roihan.
Melihat Roihan tak percaya, Joy menyanggupi cek fisik di kamar kecil. “Benar. Saya melihat organ genitalnya meski tak sempurna adalah organ genital laki-laki. Sekilas memang bentuknya seperti organ genital perempuan. Tapi jika diamati, ia benar-benar laki-laki,” kata Roihan.
Joy menggunakan bukti medis dan surat pengantar dari kelurahan sebagai pegangan mengajukan perubahan identitas kelamin ke pengadilan. “Putusan pengadilan menjadi bukti hukum penting untuk mengurus semua dokumen seperti akta, KTP, dan ijazah,” Retno menambahkan.
Merujuk Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, perubahan status jenis kelamin dalam akta kelahiran harus didasarkan pada putusan pengadilan. Ini jika permohonan perubahan terjadi dalam jangka waktu lebih dari 30 hari setelah akta kelahiran terbit.
Membangun kejantanan
Dengan bukti-bukti medis yang kuat, proses pergantian status kelamin secara hukum, mungkin tak akan sulit. Seperti beberapa kasus terdahulu yang tak membutuhkan proses berbelit.
Pada akhir 2009, misalnya, Pengadilan Negeri Batang pernah mengabulkan permohonan pergantian status kelamin Agus Wardoyo yang kemudian berganti nama menjadi Nadia Ilmira Arkadia.
Secara fisik, Agus lahir dengan kelamin laki-laki. Namun, ia merasa terperangkap di raga yang salah. Selepas sekolah menengah atas, ia mempersiapkan diri menjadi perempuan dengan melakukan operasi kelamin di RS Dr. Soetomo Surabaya.
Di tahun sama, seorang bocah enam tahun asal Purwokerto juga mengajukan pergantian status kelamin ke pengadilan setempat. Bocah yang mulanya menyandang status perempuan itu segera berganti nama laki-laki setelah pengadilan mengabulkan permohonannya.
Orangtuanya bilang, saat lahir bocah itu berjenis kelamin perempuan. Namun, berselang beberapa bulan muncul kelamin pria di kelamin wanitanya. “Setelah dilakukan pemeriksaan di rumah sakit tidak terdapat rahim dan memiliki kromosom laki-laki yakni XY,” katanya.
Probowatie Tjondronegoro Mpsi, psikolog dari Universitas Semarang, justru khawatir proses adaptasi secara kejiwaan dengan lingkungan. Meski secara medis laki-laki, namun sejak kecil Joy terbiasa dengan perlakuan perempuan. “Perlakuan feminisasi ini akan berdampak pada kepercayaan dirinya,” katanya.
Menurutnya, solusi paling cepat menyempurnakan maskulinitasnya adalah putus dari lingkungan lama. Joy disarankan pindah ke tempat yang orang tak tahu masa lalunya. “Di situ ia bisa leluasa membangun kembali identitas barunya, agar keyakinannya tak terkikis oleh gunjingan,” kata Probowatie.
Probowatie menyebut unsur feminitas Joy saat ini lebih terasah karena faktor pembiasaan dan perlakuan lingkungannya. Namun, seiring pertumbuhan kedewasaannya, Joy gelisah dan naluri maskulinitasnya menuntut pengakuan. Ini terjadi karena secara hormonal, maskulinitas Joy lebih kuat.
Yang paling mungkin dan paling cepat mengembalikannya adalah membebaskannya dari lingkungan lamanya dan dimutasikan ke lingkungan baru,” kata Probowatie. “Kata kuncinya adalah kumpulan kebiasaan akan menjadi perilaku.” ).
sumber:http://menujuhijau.blogspot.com/2011/12/lama-terperangkap-di-raga perempuan.html#ixzz1fNWJeAF3
No comments:
Post a Comment