JIKA toleransi saat ini (abad 20) dideteksi di setiap penjuru dunia, saya yakin Jerussalem adalah yang TERBURUK.
Pada
akhir tahun 1987 saya sempat berkunjung ke kota Jerussalem lama. Kota
kuno di atas bukit yang dikelilingi tembok raksasa itu menyimpan tempat
suci utama tiga agama :
- Masjid al-Aqsa,
- Wailing Wall (Dinding Ratapan) dan
- Gereja Holy Sepulchre (Kanisat al-Qiyamah).
Saat ini, tempat ini adalah daerah konflik yang paling menegangkan di dunia.
Ketika
menapaki jalan-jalan di kota tua itu banyak perisiwa menegangkan. Saya
menyaksikan seorang pendeta Katholik dan seorang rabbi Yahudi saling
memaki dan sumpah serapah, nyaris saling bunuh.
Di lorong-lorong pasar saya melihat ceceran darah segar Yahudi dan Palestina.
Di pintu masuk dinding ratapan saya bertemu seorang Yahudi Canada.
Dengan pongah dan percaya diri dia teriak, "I come here to kill
Muslims". Di pintu gerbang masjid Aqsa, seorang tentara Palestina menangis selamatkan masjid al-Aqsa! Selamatkan masjid al-Aqsa!
Namun jika makna toleransi itu kita kembalikan ke abad 7 dan seterusnya, mungkin Jerussalem justru yang TERBAIK. Setidaknya sejak Muslim memimpin dan melindungi kota ini.
Jika kita menelurusi lorong via dolorosa menuju Gereja Holy Sepulchre orang akan tersentak dengan bangunan Masjid Umar.
Masjid Umar itu terletak persis didepan gereja yang diyakini sebagai
makam Jesus. Di situ semua sekte berhak melakukan kebaktian. Melihat
lay-out dua bangunan tua ini orang akan segera berkhayal “ini pasti
lambang konflik dimasa lalu”. Tapi khayalan itu ternyata salah. Fakta
sejarah membuktikan masjid itu justru simbol TOLERANSI. Begini sejarahnya :
Umat
Islam dibawah pimpinan Umar ibn Khattab ra mengambil alih kekuasaan
Jerussalem dari penguasa Byzantium pada bulan Februari 638. Mungkin
karena terkenal wibawa dan watak kerasnya Umar ra memasuki kota itu
tanpa peperangan. Begitu Umar datang, Patriarch Sophronius, penguasa
Jerussalem saat itu, segera “menyerahkan kunci” kota.
Suatu
saat, ketika Umar bersama Sophronius menginspeksi gereja tua itu ia
ditawari shalat di dalam gereja. Menurut pembaca situslakalaka,
bagaimana sikap umar kemudian ??? Setujukah beliau sholat didalam gereja
itu sebagai simbol toleransi ????
Tidak
saudara-saudara, ternyata ia menolaknya dan inilah katanya: “jika saya
shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik
mereka, hanya karena saya pernah shalat disitu”.
Sebagai
penghargaannya atas keramahtamahan Sophronius, Umar kemudian mengambil
batu dan melemparkannya keluar gereja. Ditempat batu itu jatuh ia
kemudian melakukan shalat. Mulai saat itu Umar kemudian menjamin bahwa
Gereja Holy Sepulchre tidak akan diambil atau dirusak umat islam, sampai
kapanpun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristiani. Itulah toleransi Umar.
Toleransi ini kemudian diabadikan Umar dalam bentuk Piagam Perdamaian. Piagam yang dinamakan al-‘Uhda al-Umariyyah itu mirip dengan piagam Madinah. Dibawah kepemimpinan Umar non-Muslim dilindungi dan diatur hak serta kewajiban mereka.
Piagam itu di antaranya berisi sebagai berikut:
-
Umar amir al-mu’minin memberi jaminan perlindungan bagi nyawa,
keturunan, kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang
sakit dan sehat dari semua penganut agama.
- Gereja mereka tidak akan diduduki, dirusak atau dirampas.
- Penduduk Ilia (maksudnya Jerussalem) harus membayar pajak (jizyah) sebagaimana penduduk lainnya; dan seterusnya.
Sebagai
ganti perlindungan yang diberikan Khalifah Islam terhadap diri, anak
cucu, harta kekayaan, dan pengikutnya Sophorinus juga menyatakan
jaminannya.
- kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru dikota dan pinggiran kota kami;..
- Kami juga akan menerima musafir Muslim kerumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam…
- kami tidak akan menggunakan ucapan selamat yang digunakan Muslim;
- kami tidak akan menjual minuman keras;
-
kami tidak akan memasang salib … di jalan-jalan atau di pasar-pasar
milik umat Islam”. (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga
History of al-Tabari: The Caliphate of Umar b. al-Khattab Trans. Yohanan
Fiedmann, Albany, 1992, p. 191)
Bukan
hanya itu pembaca situslakalaka, Salah satu poin dalam Piagam itu
melarang Yahudi masuk ke wilayah Jerussalem. Justru Ini atas usulan
Sophorinus. Namun Umar meminta ini dihapus dan Sophorinus pun setuju.
Umar lalu mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk tinggal di
Jerussalam dan mendirikan synagogue. Konon Umar bahkan mengajak
Sophorinus membersihkan synagog yang penuh dengan sampah. Itulah toleransi Umar.
Piagam
Umar ternyata terus dilaksanakan dari satu khalifah ke khalifah
lainnya. Umat Islam tetap menjadi juru damai antara Yahudi dan Kristen
serta antara sekte-sekte dalam Kristen. Ceritanya, karena sering terjadi
perselisihan antar sekte di gereja Holy Sepulchre tentara Islam diminta
berjaga-jaga di dalam gereja. Sama seperti Umar, para tentara juru
damai itu pun ditawari shalat dalam gereja dan juga menolak. Untuk
praktisnya mereka shalat dimana Umar dulu shalat.
Di
tempat itulah kemudian Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1193, membangun
masjid permanen. Jadi masjid Umar inilah saksi toleransi Islam di
Jerussalem.
Namun,
kini Jerussalem yang damai tinggal cerita. Belum ada jalan kembali
menjadi kota toleransi. Lebih-lebih makna toleransi seperti dulu sudah
MATI oleh LIBERALISASI. Dan Umar maupun Sophorinus tidak mungkin akan
dinobatkan menjadi “Bapak pluralisme”. Sebab menghormati agama orang
lain kini tidak memenuhi syarat toleransi.
Toleransi sekarang telah ditambah maknanya menjadi menghormati dan mengimani
kebenaran agama lain. Betul -betul TOLERANSI yang SALAH KAPRAH. Dan
lagi lagi bisa diduga, biang keladinya adalah Penggembos Islam dari kaum
humanis sekuler yang ateis dan Penganut Paham Pluralisme Agama (The Challenge of Religious Pluralism, Christian Research Journal). *
sumber situslakalaka.blogspot.com
No comments:
Post a Comment