Seorang
lelaki bercerita bahwa ia mempunyai ayah yang sudah tua. Dan ia
biasanya menghidangkan makanan untuknya dan untuk anak-anaknya dari
piring bagus yang terbuat dari porselin dan alumunium atau bahan
lainnya.
Akan
tetapi untuk ayahnya ia menghidangkannya pada piring yang terbuat dari
kayu. Ia meletakkan makanan pada piring kayu tersebut. Begitulah hari demi hari berjalan selama beberapa waktu.
Sampai
suatu hari salah seorang anaknya yang masih lugu bertanya, “Ayah,
mengapa ayah meletakkan makanan untuk kakek pada piring kayu? Sedangkan
ayah meletakkan makanan untuk kami pada piring dari kaca yang bagus ?”
Si
ayah tidak mengerti maksud pertanyaan anaknya ini. Ia mengira itu
hanyalah pertanyaan sambil lalu begitu saja dan jawabannya sangat mudah
dan gampang. Ia berkata pada anaknya,
“Anakku,
bukankah kakek sudah tua dan berusia lanjut? jika ayah memberinya makan
pada piring yang terbuat dari kaca apalagi yang didatangkan dari cina
ini, terus bagaimana nanti jika
kakek memecahkannya. Karena matanya sudah lemah dan tangannya juga sudah
lemah. Bisa jadi dia menyenggol piring itu dengan tangannya tanpa
terlihat olehnya sehingga terjatuh di lantai dan pecah sementara kakek
tidak mengetahuinya.”
Lagi-lagi
si ayah dikejutkan dengan celotehan anaknya yang masih kecil itu. Si
anak berkata kepadanya, “Kalau begitu aku akan menjaga piring kayu ini
yah, agar nanti aku dapat menghidangkan makanan untuk ayah dengan piring ini bila usia ayah sudah sama dengan kakek.”
Kalimat
ini menghantam si ayah bagaikan sambaran petir. Sadarlah ia, bagaimana
ia berbuat, begitulah ia akan diperlakukan. Sebagaimana ia memperlakukan
ayahnya, seperti itu pulalah anak-anak akan memperlakukan dirinya. Ia
mengerti bahwa apa yang ia lakukan terhadap ayahnya, begitu pulalah nanti ia akan diperlakukan.
Iapun
segera bangkit dan menghancurkan piring kayu tadi di hadapan anaknya
lalu membuangnya ke tempat sampah. Sesudah itu segera ia mengambil
piring terbagus yang ia miliki dan diisinya dengan berbagai hidangan
lalu diberikan kepada ayahnya yang renta. Terimakasih anakku, darimu aku
bisa belajar menghargai.....
Dikutip dari “Andai Kau Tahu Wahai Anakku” Fathurrahman Muhammad Hasan Jamil, Pustaka At-Tibyan, Solo
sumber : situslakalaka.blogspot.com
No comments:
Post a Comment