
Pernah
terjadi sebuah adu pendapat Disebuah aula besar, antara seorang
penghapal Qur'an (hafidz), mahasiswa muda lulusan universitas islam,
dengan seorang yang disegani, pemilik dan pengasuh pondok pesantren
ternama di sebuah kota.
Dengan
disaksikan seluruh jamaah sang pengasuh pesantren, dan beberapa saja
dari mahasiswa muda itu, bisa ditebak jika semangat ada di pihak sang
pengasuh pesantren. Dengan berapi-api dia menegaskan, bahwa menuntut
ilmu jangan sembarangan dan harus langsung dari sumber aslinya (Al
Qur'an & Hadits).
Sang
pengasuh pesantren begitu bersemangat hingga ia mengeluarkan semua
kemampuan nahwu, shorof, manteq, balaghoh dan ushul fiqih beserta
cabang-cabang yang ia miliki untuk menjelaskan pemahamannya itu. Inti pembicaraan yang bisa disimpulkan adalah "Kalau tidak tahu bahasa arab ….ngaji kepada yang tahu"
Mendengar
hal itu, sang pemuda yang sejak tadi mendengarkan dengan seksama, mulai
menjelaskan pemahamannya dengan tenang sesuai dengan bahasa yang
dimengerti hadirin. BAHASA INDONESIA.
Hal ini membuat sang pengasuh pesantren berada diatas angin, dengan
semangatnya dia terus menerus mengungkapkan penjelasannya dengan bahasa
Arab, seolah saat itu dia tak ubahnya seorang orator ulung.
Hadirin yang nota bene
campuran dari kalangan santri dan kalangan awam, yang melihat
perdebatan itu pun berdecak kagum pada sang pengasuh pesantren. Tapi
sungguh mengherankan, pemuda itu hanya tersenyum, geli, seolah dia
hendak menutupi kekalahannya dalam adu pendapat itu.
Ketika
perdebatan itu sedang alot-alotnya, dengan ekspresi wajah yang tenang
dan berwibawa, tiba tiba dari mulutnya keluar serentetan ayat, hadits
berikut perawi nya, tepat seperti kitab yang ada dalam pegangan sang
pengasuh pesantren. Berkali kali dia menjelaskan dengan panjang lebar,
penjelasan yang seolah tak ada putusnya itu tentu saja hanya bisa
dimengerti oleh orang yang menguasai bahasa Arab saja.
Hadirin
terdiam. Sang pengasuh pesantren menunduk. Dirinya yang lulusan terbaik
sebuah pesantren ternama di Jawa Timur tak pernah menyangka sedikitpun
jika yang dihadapinya adalah seorang alumnus mahasiswa dari universitas terkemuka dunia (Mesir), sebuah tempat, sekaligus pemilik bahasa
yang dekat sekali dengan sumbernya (ALQURAN & HADITS), karena
sebelumnya dia hanya memperkenalkan diri sebagai Mahasiswa saja.
Dan kini dengan ilmunya sang mahasiswa sedang menyelesaikan terjemahan kitab dalam bahasa Indonesia, bahasa yang mudah dimengerti oleh sebagian besar masyarakat kita.
Menurut
pembaca situslakalaka, salahkah sang mahasiswa tadi yang berniat
mengamalkan dan menyebarkan ilmunya dengan bahasa yang mudah digunakan
itu ? Salahkah kita membaca dan belajar dari KITAB hasil Terjemahan sang mahasiswa itu, ataukah kekeh dengan pendapat sang pengasuh pesantren tadi, bahwa "jangan sembarangan membaca, apalagi kitab terjemahan dalam bahasa indonesia?.
Catatan :
Tolong
jangan cari siapa yang kalah atau menang dalam persoalan diatas. Karena
disana ada HIKMAH Yang Dalam sekali.......hikmah yang perlu diambil
oleh orang yang BUKAN SEKEDAR BERAKAL, tetapi juga MEMPERGUNAKAN
AKALNYA.
"Wahai
pembaca, Lihatlah apa yang dikatakannya, dan jangan melihat SIAPA YANG
MENGATAKANNYA (Undzur maa qoola walaa tandzur MAN QOLA) " Kebenaran
tetaplah kebenaran meski ia keluar dari mulut seorang penjahat "
sumber : situslakalaka.blogspot.com


No comments:
Post a Comment