Islam
membimbing kita menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya
yaitu amal shalih, tidak dengan hal-hal yang tidak berhubungan sama
sekali dengan alam sana seperti kuburan mewah, bekal kubur yang
berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran.
Bila
diantara saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak
saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah
memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, dalam hadits:
“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja'far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.[1]
Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga
yang terkena musibah. Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita
sebisa mungkin diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan
konsumtif; memberi kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis
diberi uang atau makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri.
Juga
amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun
masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis),
membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan
ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat.
Imam Syafi’i dan Imam Nawawi
sendiri menyatakan bahwa bacaan al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai
karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak
dicontohkan Rasulullah dan para shahabat.
Akan
tetapi di masyarakat kita, percaya ataupun tidak, selamatan
kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama.
Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang
meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain. Sehingga
banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi sosial
tersebut. Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang
berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah.
Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:
"...dan aku membenci al-ma'tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)
Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam
tapi kehilangan selamatan-selamatan, seperti beratnya masyarakat Romawi
disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa
Matahari 25 Desember.
Tapi Umat Islam bukanlah Umat Nasrani
Mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”.
Tahukah pembaca apa jawaban Sunan Kalijogo ??
“Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam
telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya
tahlilan itu”. (dan berbahagialah anda yang termasuk dalam generasi yang
dimaksud Sunan Kalijogo itu)
Sunan Ampel
berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari
bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran
yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus
menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan
ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64). Dan keyakinan Sunan Kudus itu
terbukti dengan munculnya generasi pilih tanding yang berniat
menghilangkan kebiasaan tersebut.
Dalam penyebaran agama Islam
di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan. Pembagian
wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi oleh agama
yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.
Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan
Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara
murni, baik tentang aqidah maupun ibadah di wilayah Timur & Barat.
Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan
Budha.
Tetapi
sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima
sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam di
wilayah tengah. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita,
seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan
dll.
Nasehat Sunan Bonang
Salah satu catatan
menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”[2] adalah
peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut:
“Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.[3]
Muktamar NU ke-1 di Surabaya
tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 mencantumkan pendapat
Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah
bid'ah yang hina merujuk kepada Kitab Ianatut Thalibin.
Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli
Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan
kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap
tercela sekali, bukan termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Jangan heran, saat sekaranglah pengikut sunnah seperti orang 'aneh & asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam
yang meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan
Sholat Jum'at, puasa Romadhon,dll. Sebaliknya masyarakat begitu
antusias melaksanakan tahlilan ini, dan ini hanya bisa dibaca oleh orang
yang bukan sekedar MEMILIKI AKAL tetapi juga MEMPERGUNAKAN AKALNYA itu.
Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166. Terjemahan kalimat di dalam Kitab I'anatut Thalibin :
1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk BID'AH (Mungkar), yang bagi orang yang melarangnya akan diberi pahala.
2.
Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk
orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid'ah yang paling
dibenci.
3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang
untuk melakukan Bid'ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) berarti
menghidupkan Sunnah, mematikan Bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan,
dan menutup banyak pintu keburukan.
4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga
mayit, karena telah disyari'atkan tentang keburukannya, dan perkara itu
adalah Bid'ah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan
sanad yang Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : "Kami menganggap berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan , adalah termasuk Niyahah (meratap)"
5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan sesudah seminggu dst.
"al-Khara'ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: 'Penghidangan makanan oleh keluarga
mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah'. kebiasaan
tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan
meninggalkannya berarti bid'ah, maka telah terbalik suatu urusan dan
telah berubah suatu kebiasaan'. (al-Aqrimany dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).
Al
Mawa'idz merupakan sebuah nama bagi majalah yang dikelola oleh
organisasi Nahdatul Ulama Tasikmalaya, terbit sekitar pada tahun 30-an.
Di dalam majalah ini, pihak NU (yang biasa dikenal sebagai pendukung
acara tahlilan) ternyata menyatakan sikap yang sebenarnya.............MENOLAK. Berikut kutipannya :
Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara :
1.
Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta tea mah, orokaja da ari
geus djadi adat mah sok era oepama henteu teh . Geura oepama henteu
sarerea mah ?
2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajoh ditambahan.
3. Njoelajaan Hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe di bere koe oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit.
Kesimpulannya mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti telah melanggar tiga hal :
1.
Membebani keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan
makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayat akan
menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan. Tetapi coba kalau semua
orang tidak melakukan hal serupa itu ?
2. Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.
3.
Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits justru kita tetangga
yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayat yang sedang berduka
cita, bukan sebaliknya.
Kemudian ditempat lain :
Tah
koe katerangan Sajjid Bakri dina ieu kitab I'anah geuning geus ittifaq
oelama-oelama madhab noe 4 kana paadatan ittiehadz tho'am (ngayakeun
kadaharan) ti ahli majit noe diseboetkeun njoesoer tanah, tiloena,
toejoehna dj.s.t. njeboetkeun bid'ah moenkaroh.
Nah,
berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab I'anah tersebut,
ternyata para ulama dari 4 mazhab telah menyepakati bahwa kebiasaan
keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah
Nyusur Tanah, tiluna (hari ketiganya), tujuhnya (hari ketujuhnya), dst,
merupakan perbuatan bid'ah yang tidak disukai agama.
Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi bid'ah mungkarah itu ternyata ULAMA ULAMA AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH,
bukan hanya majalah Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz. Para Pendiri
Nahdliyin sendiri tidak tahu siapa yang menghukumi sunnat, apakah Ahlu
Sunnah wal Jama'ah atau bukan ?
Demikian isi majalah tersebut. [Al Mawa'dz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya (Tasikmalaya: Nahdlatoel Oelama, 1933)]
Kita
tidaklah akan lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan akibat
ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun jangan
sampai kesalahan yang kita lakukan menjadi sebuah KEBANGGAAN. Baik yang
menghukumi haram maupun makruh, sebagaimana halnya rokok, tahlilan, dll
selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan............Bukan DI BELA-BELA & MALAH DILESTARIKAN
Pertanyaannya :
1. Apakah Tahlilan [Selamatan Kematian] di dalamnya terkandung ibadah ?
2. Termasuk dalam hukum yang mana Tahlilan tersebut ?
Jawab :
1.
Karena didalamnya ada pembacaan do'a, baca Yasin, baca sholawat, baca
Al Fatikhah, maka ia termasuk ibadah. Tetapi Hukum asal ibadah adalah
"haram" dan "terlarang" sebelum ada perintah. Kalau Allah dan Rasulullah
saja tidak memerintahkan, maka siapa yang memerintahkan ? Apakah yang
memerintahkan lebih hebat daripada Allah dan Rasulullah
2.
Jika hukumnya "wajib", maka bila dikerjakan berpahala, bila tidak
dikerjakan maka berdosa. Maka bagi negara lain yang penduduknya beragama
Islam, mereka terhukum berdosa karena tidak mengerjakan. Ternyata
tahlilan hanya di lakukan di sebagian negara di Asia Tenggara saja coba ?
3. Wajibkah Tahlilan ? Ternyata tidak, karena tidak ada perintah Allah dan Rasul untuk melakukan ritual tahlilan (Selamatan Kematian : red)
4. Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab Rasulullah sendiri belum pernah mentahlili istri beliau, anak beliau dan para syuhada.
5.
Kalau seandainya hukumnya Mubah, maka untuk apa dikerjakan, sebab ia
tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala dan dosa, kalau dikerjakan atau
ditinggalkan). Sudah buang-buang uang dan buang-buang tenaga, tetapi
tidak ada nilainya.
Ibn Abbas r.a berkata: "Tidak
akan datang suatu zaman, kecuali pada zaman itu semua orang mematikan
sunnah dan menghidupkan bid'ah, hingga matilah sunnah dan hiduplah
bid'ah. tidak akan ada orang yang berusaha mengamalkan sunnah dan
mengingkari bid'ah, kecuali orang tersebut diberi kemudahan oleh Allah
di dalam menghadapi segala kecaman manusia yang diakibatkan karena
perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan mereka serta karena ia
berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah dibiasakan oleh
mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka Allah akan
membalasnya dengan berlipat kebaikan di Akhirat".(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)
Akhirnya,
semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf dan
koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sebagai upaya untuk
memperbaiki umat Islam ini
[1](HR
Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61),
al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan
al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah
(Sunan Ibn Majah, 1/514)
[2]
Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai
dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari
dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti.
Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh
Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj,
tahun 1935.
[3] Dari info Abu Yahta Arif
Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan
dan Ziarah Para Wali hlm. 12-13.
sumber : http://www.situslakalaka.info/2012/01/imam-syafii-wali-songo-generasi-awal.html
No comments:
Post a Comment