
KETIKA
RASULULLAH SAW menceritakan kisah perjalanannya yang ajaib dalam
peristiwa Isra Miraj kepada kaumnya, yang terdiri dari orang-orang
Quraisy, penduduk Mekkah terpecah menjadi tiga golongan.
Sebagian
besar adalah orang-orang kafir yang makin tidak percaya kepada Muhammad
saw. Bahkan menganggapnya gila. Golongan kedua adalah orang-orang yang
tadinya beriman, tetapi kemudian murtad begitu mendengar Nabi bercerita
yang bukan-bukan dan tidak masuk akal sama sekali.
Hanya
sebagian besar saja makin kuat imannya. Antara lain sahabat Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Bahkan, jika ada yang bertanya kepadanya apakah Abu Bakar
mempercayai keterangan Muhammad yang mustahil itu, sahabat tersebut itu
menjawab, “Lebih dari itu pun, kalau yang bercerita Muhammad, aku pasti
percaya!” Tegas. Tak ada keraguan.
Akibat
keadaan yang menyedihkan itu, Nabi dengan sedih tertunduk di depan
Kabah sambil terus memikirkan kaumnya yang keras kepala. Ia sangat
kasihan kepada mereka. Bagaimana nasib-nasib orang-orang kafir itu di
akhirat kelak kalau terus-terusan membangkang kepada kebenaran Allah
swt?
Tiba-tiba
datanglah salah seorang pemuka Quraisy, anak muda yang berbadan tinggi
besar serta tegap. Seraya menghardik dengan suara keras, ia bertanya
kepada Nabi, “Aku dengar kau baru terbang ke langit, hai Muhammad?”
Nabi mendongak. Ia tersenyum ramah. “Tidak. Aku baru saja diperjalankan oleh Allah untuk menghadap ke hadirat-Nya.”
“Pokoknya kau mengaku terbang ke langit bukan?” desak orang musyrik itu. “Coba sekarang aku ingin melihat buktinya....”
Nabi mengernyitkan dahinya. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Orang itu bersikap makin menjengkelkan. Ia berkata dengan nada yang penuh hardikan, “Berdirilah kau, Muhammad!”
Nabi menurut. Ia pun berdiri sebab Nabi adalah pemimpin yang sangat sabar dan tasamuh, penuh toleransi kepada siapa saja.
“Angkat sebelah kakimu, yang kanan!” perintah pemuda jagoan itu dengan kasar dan sangat kurang ajarnya.
Nabi tetap menurut. Diangkatnya kakinya yang kanan.
“Sekarang angkat pula kakinya yang kiri. Yang kanan, jangan diturunkan...” lanjut si kafir itu.
Nabi
menarik nafas panjang di dadanya. Ia berkata dengan rendah hati, “Bila
kuangkat pula kaki yang kiri, sedangkan yang kanan masih di atas, aku
bakal jatuh terguling...”
“Ha ha ha ha,” si pemuda tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan suara yang keras dan penuh dengan nada puas serta kemenangan.
“Apa yang lucu? Kenapa kau tertawa?” tanya Nabi keheranan.
“Ha
ha ha Muhammad. Inilah buktinya bahwa engkau pembohong. Tukang bual
yang besar mulut. Mengangkat dua kaki dari atas tanah satu jengkal saja
tidak mampu. Apalagi terbang ke langit... ha ha ha ha ha.....”
Nabi
masih saja tetap tenang. Ia memandangi saja pada pemuda itu kemudian ia
berkata, “Barangkali kalau kau ingin bukti lebih lanjut, datangilah
sahabatku Ali bin Abi Thalib. Dia masih muda dan sebaya denganmu.
Mungkin dia bisa menerangkan yang cocok dengan keinginanmu tentang
perjalanan Isra Miraj-ku...”
Si pemuda mengangguk-angguk kepalanya. “Hmmm, baik. Aku akan datangi dia!” ujarnya.
Maka
dicarilah sahabat Ali oleh orang musyrik yang sombong dan kasar itu.
Waktu itu, Ali sedang berkumpul bersama beberapa sahabat lainnya. Orang
kafir itu memanggil Ali, dan Ali mendekatinya.
“Ada perlu apa kaupanggil aku, ha?” tanya Ali.
“Begini,”
jawab si pemuda kafir itu dengan sombong, “Aku baru saja mendatangi
saudaramu yang gila, si Muhammad itu. Aku tanya, apakah betul dia baru
terbang ke langit. Dia menjawab betul. Kusuruh buktikan dia dengan cara
mengangkat kedua kakinya bersama-sama, satu jengkal saja dari atas
tanah, tetapi dia menjawab tidak bisa. Nah, aku ejek dia, aku tertawakan
dia seketika saking lucunya, karena ia nyata-nyata berbohong kan? Nah,
ia menyuruhku untuk datang kepadamu. Katanya, kau Ali, dapat menjelaskan
peristiwa Isra Miraj kepadaku lebih terang dan jelas lagi. Karena
engkau seusia denganku. Apakah itu benar?”
Ali
mendelik. Sekian detik ketika ia mendengar perkataan orang di
hadapannya, ia mendengus. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun ia dengan
sebat hampir tidak kelihatan oleh mata, ia mencabut pedangnya. Orang
kafir itu kebingungan. “Kenapa kau cabut pedangmu?”
Sambil
berkata seperti itu, ia pun dengan begitu saja hendak mengeluarkan
goloknya. Namun, gerakannya tidak cukup cepat dibandingkan dengan
sebatan pedang Ali. WUSSHHHHHH!!!! Sekali gerak, Ali mengarahkan
pedangnya ke leher orang kafir itu. Darah memuncrat. Sejenak kemudian si
Pemuda itu terkapar. Ali mengelap-elap pedangnya yang bersimbah darah.
Para
sahabat yang menyaksikan peristiwa itu cepat-cepat mendatangi Ali bin
Abi Thalib dengan cemas dan keheranan. Mereka menegur dengan keras,
“Hai, anak Abi Thalib, alangkah gegabahnya kau. Kejam dan tak
berprikemanusiaan. Bukankah Rasulullah menyuruhmu menerangkan kepadanya
tentang peristiwa Isra Miraj, bukan untuk membunuhnya?”
Ali
melirik ke arah mereka. Dengan tenang, ia mengacungkan pedangnya tegas
ke arah mayat yang masih membujur bersimbah darah itu, “Dia ini,
Rasulullah sendiri yang bercerita, orang kafir ini tidak percaya. Malah
menghina dan mengejeknya. Padahal Rasulullah yang mengalami peristiwa
itu sendiri, berarti keterangan beliau lebih jelas dan gamblang
daripadaku. Tutur kata beliau juga halus dan sopan dibandingkan dengan
diriku.
Ceritanya
lebih terperinci karena beliaulah yang mengetahui rahasia Isra Miraj
dengan pasti. Apalagi kalau sekadar Ali bin Abi Thalib yang bercerita,
tak bakal dia percaya. Kedatangannya bukan hanya ingin bertanya mencari
tahu. Ia hanya ingin mengejek dan menghina keimanan kita. Maka
satu-satunya jalan agar dia percaya, mati dulu baru dia tahu terhadap
perkara-perkara yang ghaib selama ini!!!!”
Para
sahabat akhirnya mengangguk-angguk menyetujui pendirian Ali Bin Thalib
karena agama memang merupakan pegangan hidup yang tidak layak dijadikan
sebagai bahan pergunjingan atau ejekan.
(Peri Hidup Nabi dan Para Sahabat; Saad Saefullah)
No comments:
Post a Comment