Suatu
hari, selesai memberikan pengajian di sebuah masjid, seorang jamaah
mendekati dan menyalami saya. Tampaknya ada sesuatu yang mau
disampaikan. Tetapi, karena masih ada jamaah lain maka pembicaraan kami
bersifat umum saja. Setelah jamaah lain pamit dan tinggal kami berdua,
barulah dia mulai menyampaikan persoalannya. "Sekarang saya baru sadar
Ustaz."
Sambil
melihat sekeliling, memastikan tidak ada jamaah yang datang, dia
melanjutkan. "Begitu pandainya saya menyembunyikan, sehingga tidak ada
yang tahu." Saya mulai menduga-duga ke mana arah pembicaraan. Sepertinya
dia mau memberikan sebuah pengakuan. Barangkali dia berselingkuh,
istri, mertua, orang tua, dan teman-temannya tidak tahu. Sekarang betapa
banyaknya laki-laki berselingkuh dan pandai menyembunyikan
perselingkuhannya.
"Menyembunyikan
apa, Pak?" tanya saya. Karena dia tidak segera menjawab, saya sampaikan
dugaan yang ada dalam pikiran saya. "Maaf, apa Bapak berselingkuh?" Dia
malah tertawa. "Bukan Ustaz, saya tidak punya potongan untuk
berselingkuh. Saya dulu peminum Ustaz." Dia diam sebentar, sepertinya
mengingat masa mudanya. "Sejak muda saya sudah peminum. Bermacam-macam
minuman keras sudah saya coba. Mula-mula yang berkadar alkohol rendah, lalu meningkat dengan kadar alkohol yang lebih tinggi. Sampai kemudian saya menikah."
"Apakah
setelah menikah Bapak masih minum?" Dia menjawab masih minum. "Apakah
mertua, terutama istri Bapak tidak melarangnya?" selidik saya. "Di
situlah masalahnya Ustaz. Saya pandai sekali menyembunyikannya. Tidak
ada yang tahu," jawabnya sambil sesekali melihat kiri kanan khawatir ada
yang datang.
"Hebat
sekali Bapak menyembunyikannya. Bertahun-tahun jadi peminum kok tidak
ada yang tahu." Mendengar pujian saya bernada sinis itu dia tersenyum,
tapi senyumnya kecut. Rupanya Bapak itu pandai mengatur kapan minum, di
mana boleh minum, dan di mana tidak minum. Barangkali dia juga pandai
mengatur di mana dan jam berapa boleh mabuk. Jarang peminum yang bisa
menyembunyikan kebiasaan buruknya itu dalam waktu cukup lama dari
keluarganya.
"Sekarang
tentu Bapak sudah taubat kan?" tanya saya. Kalau orang sudah rajin
shalat berjamaah di masjid dan mendengarkan pengajian, dapat dipastikan
sudah bebas dari hal-hal semacam itu. Tidak mungkinlah peminum rajin ke
masjid. Dengan anggukan dia menjawab, "Ya, Ustadz. Saya sudah taubat,
tapi sudah terlambat." Segera saya yakinkan dia, bahwa tidak ada istilah
terlambat untuk taubat. Selagi nyawa masih di kandung badan tetap dapat
bertaubat. "Betul Ustaz," jawab dia.
"Kalau
hubungannya dengan dosa, mudah-mudahan dosa saya diampuni oleh Allah
SWT. Tetapi dari kesehatan, saya sudah terlambat sadar. Dokter
menyatakan liver saya sudah berlobang akibat sering minum minuman keras.
Beberapa waktu lalu saya dirawat di rumah sakit, karena perut saya bengkak." Saya kemudian membesarkan hatinya, semoga penyakitnya segera disembuhkan Allah SWT.
Itulah
pertemuan saya yang terakhir dengan jamaah tersebut. Beberapa waktu
kemudian dia meninggal dunia setelah kembali dirawat karena sakit
livernya. Sering orang baru sadar dengan larangan Allah SWT setelah
mengalami akibatnya sendiri. (republika.co.id)
No comments:
Post a Comment