ilustrasi/admin(shutterstock.com)
Nyata benar betapa sadisnya korupsi. Pengalaman teman saya mengurus santunan Jamsostek untuk buruh pabrik yang tewas ditabrak bus setidaknya menegaskan hal tersebut. Di sini kita baru bicara kejahatan korupsi puluhan ribu hingga jutaan rupiah saja. Bagaimana dengan korupsi ratusan juta, milyaran, hingga trilyunan rupiah? Pasti dampaknya lebih akut dan menyakitkan. Penuturan teman saya yang bekerja di sebuah pabrik yang akan saya ceritakan di sini membuat dada saya sesak, betapa sudah busuknya jantung hati koruptor di negeri ini.
Sebagai staf personalia sebuah pabrik makanan ringan di Sumedang, Jawa Barat, teman saya ini mengurus proses pencairan tunjangan Jamsostek yang menjadi hak salah seorang karyawannya yang tewas ditabrak sebuah bus saat menyebrang jalan di depan pabrik tempatnya bekerja di Jalan Raya Rancaekek, Bandung September 2011 lalu.
Kasus pertama pasca tewasnya Surti (kita sebut saja namanya begitu), kakak Surti yang mengurus surat keterangan kecelakaan dan berita acara di Polsek Cileunyi, Bandung (wilayah hukum tempat tabrak lari terjadi) diminta menyerahkan KTP, Kartu Keluarga, dan dokumen lainnya. Namun setelah surat kepolisian yang diperlukan untuk mengajukan klaim ke PT Jamsostek itu selesai oknum polisi di Polsek Cileunyi minta dibayar Rp5juta. Jika tidak mau bayar Rp5juta, bukan hanya surat keterangan kecelakaan yang tidak akan diserahkan, KTP dan Kartu Keluarga pun akan ditahan si oknum. Rupanya oknum polisi berhati penuh koreng ini tahu persis santunan dana Jamsostek bisa mencapai puluhan juta rupiah, dia mengira wajar kalau dia kebagian Rp5juta saja atas jasanya memuluskan pencairan dana Jamsostek tsb. Demikian kira-kira yang ada di benak polisi busuk tsb.
Tentu saja kakak Surti (alm) kelabakan. Maklum, sebagai tukang ojek tidak pernah terbayang dari mana mencari uang Rp5juta. Buat biaya mengurus pemakaman adiknya saja dia ngutang ke sana sini. Saya tidak tahu persis kelanjutan dari kisah oknum polisi korup ini.
Singkat kata singkat cerita, sekira akhir Mei 2012 teman saya sang staf personalia pabrik tempat alm. Surti bekerja mendapat kabar dari Kantor Jamsostek dana santunan untuk mendiang Surti siap cair, namun pencairan dana sekira Rp50jutaan tsb masih memerlukan surat keterangan / kesaksian dari Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Sumedang yang menyebutkan bahwa korban memang karyawan pabrik yang berada di wilayah binaan Disnaker Sumedang.
Mengingat pentingnya dana tsb untuk hidup anak semata wayang almarhum Surti yang masih berusia lima tahun, teman saya segera menghubungi pihak Disnaker Sumedang (lokasi pabrik di Kabupaten Sumedang, sehingga secara administrasi urusan ketenagakerjaan pabrik tersebut menjadi kewenangan Disnaker Sumedang). Pihak yang dituju di Disnaker Sumedang pun langsung menyetujui untuk menyiapkan surat yang dibutuhkan. Namun, demikian keluhan teman saya, meski sekadar menerbitkan surat keterangan, prosesnya ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Maklum, menyadari tandatangannya sangat diperlukan untuk pencairan santunan Jamsostek, Pejabat gurem Disnaker Sumedang yang menangani kasus tsb. mulai berulah.Saat ditelepon dan ditanya kapan bisa ditemui, dia mengaku sedang sibuk. Besoknya teman saya tersebut kembali menanyakan surat yang diperlukan, dijanjikan hari lain. Sampai akhirnya teman saya tsb mendatanginya langsung dengan tidak lupa membaya sedikit buah tangan (oleh-oleh berupa makanan ringan).
Namun saat ditemui pejabat tsb melengos seraya berujar, “cuma ngasih ini?” Selanjutnya dengan terang-terangan si pejabat tengil itu mensyaratkan sejumlah uang jika surat keterangan yang dibutuhkan keluarga almarhum ingin segera keluar.
Sampai tulisan ini dibuat kasus belum selesai. Teman saya belum bisa mendapatkan surat yang dibutuhkan keluarga korban karena pihak Disnaker Sumedang belum juga mau menyerahkannya. Namun untuk memberikan sejumlah uang yang diminta pun teman saya juga tidak bisa, sebab tidak ada budget / anggaran untuk itu. Alhasil, sampai saat ini keluarga korban belum bisa menerima santunan Jamsostek yang menjadi hak korban. Padahal, kalau dipikir uang Jamsostek juga berasal dari potongan gaji karyawan setiap bulan.
Nyata benar, pejabat busuk dengan sistem yang juga busuk terbukti sangat merugikan banyak pihak. Pejabat busuk sudah jelas kelakuanya ditunjukkan oknum polisi Polsek Cileunyi dan Pejabat Gurem Disnaker Sumedang, Jawa Barat dalam cerita di atas. Sementara sistem busuk di sini maksud saya terkait mekanisme pencairan santunan Jamsostek. Mengapa Jamsostek masih mensyaratkan Surat Keterangan Disnaker, sementara status korban sudah jelas dan terang benderang tercatat sebagai buruh pabrik dengan nama dan domisili perusahaan jelas. Setiap bulan buruh pabrik dimaksud dipotong gajinya juga tertera jelas dalam catatan kantor Jamsostek, artinya dia berhak atas santunan berdasarkan keterangan dari perusahaan tempat bekerja, keterangan Kepolisian, Keterangan Pihak RT/RW serta Desa tempat tinggal korban?
Tidak usah membayangkan dampak perilaku korup yang menelan uang negara milyaran atau trilyunan rupiah. Kasus yang hanya menyangkut uang puluhan juta rupiah hak buruh pabrik saja sudah menyakitkan untuk sekadar diingat. Jangan terlalu berharap banyak pada upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Sebab korupsi sudah berurat dan berakar bahkan hingga ke tingkat pejabat rendahan di daerah-daerah…
Perilaku pejabat korup yang saya ceritakan di atas sudah sangat keterlaluan. Kalau dipikir, buruh pabrik yang berhak atas santunan Jamsostek tersebut di atas saat ini sudah di alam baka, tapi masih juga diperas. Terbukti nyata, koruptor memang sadis.
sumber : http://www.detikmaya.com/2012/06/sadisnya-korupsi-korban-tewas-aja.html
No comments:
Post a Comment