Seperti wajarnya remaja-remaja
kampung, selepas lulus SMA berusaha mencari lowongan kerja.
Alhamdulillah, aku mendapat lowongan kerja dengan sangat mudah di sebuah
pabrik plywood, meski aku harus bersedia ditugaskan ke pulau lain.
Berat, namun tidak apalah, pikirku waktu itu.
Dengan
bekal dan doa kedua orangtua, diantarlah aku dengan hujan airmata.
Kebetulan nama perusahaannya juga familiar dan cukup bergengsi, sehingga
kedua orangtua bisa sedikit terhibur, meskipun sebenarnya khawatir
melepasku merantau ke kepulauan Sulawesi.
Pembawaan
yang mudah bergaul, membuat aku cepat akrab dengan teman seprofesi yang
rata-rata juga berasal dari Jawa, hanya sedikit saja orang Sulawesi
yang bekerja dalam perusahaan ekspor kayu siap jadi tersebut. Suasana
kerja yang kondusif, apalagi ditunjang dengan fasilitas tempat tinggal
perusahaan yang lumayan strategis dan terjaga. Di antara teman-teman
kerja, mayoritas masih lajang.
Tumbuhlah
aku di antara teman kerja yang rata-rata berusia sebaya denganku yang
ketika itu usiaku delapan belas tahun. Dunia remaja, di mana-mana saja,
penuh keindahan dan pesona. Aku pun juga mekar layaknya mereka, menjadi
gadis yang mulai mengenal lawan jenis. Wajahku yang kata orang cukup
cantik, menarik beberapa laki-laki mendatangi untuk menyatakan hasrat
cintanya.
Selang
beberapa bulan, aku mulai tertarik dengan seorang laki-laki yang
menurutku punya aura tersendiri, sebut saja Mark (bukan nama
sebenarnya). Usianya baru sembilan belas tahun, atau setahun lebih tua
dariku. Mark bekerja di perusahaan yang sama denganku, hanya berbeda
divisi.
Kurasakan
kuntum-kuntum cinta bermekaran dalam dada. Hari demi hari, rasa sesak
memenuhi kalbu. Betapa bahagianya hatiku ketika ia dengan sikap
kedewasannya dalam mengungkapkan rasa cinta. Dunia menjadi milik kami
berdua. Semua serba indah, tidak ada lagi resah, galau, gelisah, yang
ada hanyalah rindu terhadapnya. Hatiku semakin berbunga-bunga ketika
tahu ternyata laki-laki yang menjadi kekasihku ini menjadi incaran
banyak gadis. Sang arjunaku berbadan tegap, sikapnya tegas dan
berwibawa.
Berlalunya
waktu, tidak ingin rasa ini sia-sia, maka kami merencanakan pernikahan.
Enam bulan berpacaran sudah cukup bagi kami untuk saling mengenal. Maka
dibuatlah rencana, aku menghubungi keluarga di Jawa, sedangkan Mark
juga menghubungi keluarganya yang masih satu kabupaten dengan perusahaan
plywood. Respon keluarga Mark biasa saja, namun tidak dengan
keluargaku, ayah dan ibu menentang hebat, apalagi setelah tahu bahwa
Mark beragama Kristen.
Dengan
bijaksana kujelaskan bahwa Mark bersedia masuk Islam sebelum menikah.
Keluargaku tidak percaya begitu saja, mereka memintaku untuk membawa
Mark pulang ke Jawa dulu sebelum menikah. Entah karena hati ini sudah
terbutakan oleh cinta atau memang aku yang terlalu lugu, aku nekad
melangsungkan pernikahan dengan Mark, dengan pernikahan yang disaksikan
keluarga Mark. Dan ketika menikah, Mark telah menyatakan masuk Islam.
Pernikahan
ini indah awalnya, aku merasakan hidup tenang di samping suami. Dua
bulan setelah menikah, aku mengandung anak pertama. Namun, aku terkejut
dengan perubahan suamiku, dua bulan setelah menikah, sikapnya terhadapku
berubah drastis dengan sikapnya ketika masih pacaran dulu. Ia menjadi
laki-laki keras dan suka menghardik. Demi bakti pada suami tercinta, aku
mampu bersabar, anak dalam kandungan menjadi motivasi melangkah dalam
kesabaran. Airmata meleleh, menikah tanpa dihadiri satu kerabat pun,
setelah menikah hidup di lingkungan Kristen. Setiap hari, dengungan
lagu-lagu kristiani menyesakkan dada. Meski aku bukan muslimah taat,
tetapi tidak akan pernah mau dikristenkan.
Sembilan
bulan sudah usia kandungan ini, suami sama sekali tidak peduli, justru
kemarahan sering terlontar. Mata ini terasa panas ketika tahu, ternyata
suami yang aku banggakan itu kembali dalam agama lamanya, dia kembali
pada agama Kristennya setelah menikah denganku.
Detik-detik
itupun datang, anak pertamaku lahir, dengan ditemani kakak ipar (kakak
perempuan suami yang telah masuk Islam setelah menikah dengan pria
Muslim). Sementara suamiku memperlihatkan sikap semakin acuh tak acuh.
Didera rasa pedih aku terus berjuang semampunya membesarkan anakku.
Hanya Allah tempatku mengadu, semua telah terjadi, aku hanya mampu
menangis dalam penyesalan.
Allah
menitipkan lagi amanah tuk kedua kalinya, aku mengandung lagi ketika
anak pertama berusia sepuluh bulan. Seiring dengan itu, sikap suami kian
acuh. Dari pembicaraan keluarga suami, aku mendengar bahwa anak
pertamaku akan dibaptis dalam waktu dekat. Bagai disambar petir ketika
itu, tapi bagaimanapun aku tidka akan pernah mengizinkan anakku tumbuh
menjadi wanita Kristen.
Saat
usia kandungan kedua memasuki empat bulan, aku bertengkar hebat dengan
suami, aku bersikeras, bayiku tidak akan ku izinkan di baptis. Entah apa
yang terpikir dalam benak suami, rupanya komitmenku membuatnya marah
besar, sebuah pukulan keras mendarat ditubuhku, aku terpental jatuh.
Astaghfirullah.
Khawatir
dengan bayi dalam gendongan juga dalam kandungan, aku memilih sebuah
keputusan nekad. Aku akan pulang ke Jawa beberapa hari sebelum bayiku
dibaptis di gereja. Awalnya suami melarang keras, dengan sikap lembutku
merayu agar diizinkan. Akhirnya diizinkan dan berjanji akan menyusul ke
Jawa setelahnya.
Aku
sedikit terhibur, diantar kakak ipar yang muallaf, dengan menggendong
bayi, dalam keadaan mengandung empat bulan, aku mendatangi pelabuhan,
memesan tiket kapal laut menuju Surabaya. Hancur tapi lega. Hancur,
karena setelah merantau, aku pulang kembali pada orang tua dalam membawa
biduk pernikahanku yang kandas. Lega, karena aku bisa lepas dari
cengkeraman kristenisasi yang menghimpitku tiap hari.
Waktu
berputar begitu cepat, anak keduaku lahir tanpa disaksikan sang ayah.
Surat terus kukirimkan, tapi hanya sedikit saja balasan, kadang yang
membalas seorang perempuan yang mengaku sebagai pacarnya. Kepedihan ini
menindih batin, tetapi harapanku tidak pernah kandas. Aku berjualan
makanan ringan untuk menyambung hidup di Jawa, numpang di rumah
orangtua. Surat-surat itu terus ku tulis, meski jawaban tidak pernah
kudapatkan.
Empat
tahun kemudian, anakku harus sekolah, membutuhkan biaya besar. Anak
pertama berusia empat tahun, yang kedua berusia tiga tahun. Saat itu aku
berpikir, kembali pada suami tetapi dalam ancaman kristenisasi, atau
bertahan di Jawa agar anak-anak akidahnya selamat? Tetapi, untuk ijazah
SMA sepertiku, apa yang bisa kulakukan? Melamar kerja? Sangat susah,
apalagi keadaan bangsa terus memburuk, kondisi ekonomi tidak berpihak
pada rakyat kecil.
Akhirnya
aku nekad melamar menjadi TKW dengan tujuan Hong Kong. Awal di PJTKI
aku menangis tiap hari, teringat anak-anak yang kutitipkan pada
orangtua. Waktu seakan berhenti berputar, lambat menjalani hari.
Menunggu job yang tidak kunjung kuperoleh. Dengan rasa rapuh, terus ku
pompa semangat, aku harus bangkit demi anak-anak.
Saat
ini, aku telah delapan tahun menjadi TKW di Hong Kong, biarpun banyak
orang mencibir sebagai tenaga kerja rendah dan tidak berstatus, asalkan
anak-anakku tetap hidup dan akidahnya tetap Islam.
Alhamdulillah,
di Hong Hong hidayah menyapaku. Aku pun telah berjilbab dan terus
memperdalam Islam disela waktu kerja. Aku optimis melangkah membesarkan
kedua anakku dalam akidah Islam. Sementara Mark, bekas suamiku, telah
menikah lagi dengan wanita Kristen. Anak pertamaku telah berumur tujuh
belas tahun, dan yang kedua berumur enam belas tahun. Aku bahagia
menjadi single parent, inilah jalan yang Allah anugerahkan, aku memilih
menjadi TKW demi akidah anak-anakku dari incaran kristenisasi. [seperti
dituturkan pada Yulianna PS]
No comments:
Post a Comment