Bertakbir dalam Mimpi.......
Tidak
setiap orang ‘diundang’ memeluk Islam. Cahyono, pelawak kondang,
bersyukur mendapatkan hidayah-Nya, sehingga mengganti agamanya — dari
semula Nasrani yang taat — menjadi Islam.
Islam,
baginya, bukan sekadar kebutuhan di dunia dan akhirat tetapi kesempatan
mencurahkan cintanya kepada Pencipta Sejati. Cahyono lahir di tengah
keluarga Nasrani yang taat. Sejak kecil, dia sudah mendapat didikan
agama, baik secara formal dan informal. Hingga dewasa dan masa tuanya, personel grup lawak Jayakarta Grup ini, aktif di kegiatan kerohanian.
Jalan
berliku harus dilalui Cahyono sebelum memperoleh hidayah Islam. ”Saya
Nasrani selama 42 tahun, tapi Alhamdulillah, saya diberikan teman-teman
yang luar biasa — Jojon, Ester, Uu — di Jayakarta Grup,” kisah Cahyono.
Ketiga
karibnya ini, menurut Cahyono, taat dalam menjalankan ajaran agama
Islam. Mereka, bahkan, telah menunaikan ibadah haji. ”Khusus Jojon, dia
itu lulusan Ponpes Wanaraja. Nah dialah yang menjadi guru ngaji saya
pada awal-awalnya.” Kebetulan mereka berjiran.
Periode tahun 1980-1990-an merupakan masa jaya Jayakarta
Grup. Tawaran manggung ke luar daerah terus mengalir. Di saat show ke
daerah-daerah, Cahyono kerap menemukan sesuatu yang membangkitkan rasa
ingin tahunya. Yakni sewaktu melihat ketiga rekannya shalat berjamaah.
”Saya selalu melihat dan mengamati saat mereka bertiga shalat berjamaah.
Entah kenapa, tiap kali mereka takbir Allahuakbar, saya berpikir inikah Tuhannya orang Islam,” katanya.
Suatu
hari, rasa ingin tahunya memuncak. Kemudian, usai menyaksikan
sahabatnya shalat, dia memberanikan diri bertanya kepada Jojon, ”itu
tadi apa sih Allahuakbar itu.”
Jojon
menjelaskan, Allahuakbar merupakan seruan umat Islam mengagungkan Allah
SWT, tuhan semesta alam. ”Tidak ada tuhan selain Allah, dan siapa yang
menyekutukan Allah, dijamin masuk neraka jahanam,” Cahyono mengutip
ucapan Jojon. Mendengar uraian itu, Cahyono serasa disambar petir.
Sejak itu, ia banyak merenung. Ia memikirkan tentang konsep trinitas
yang dianutnya selama ini. Belum habis rasa gundahnya, tak berapa lama
dirinya larut bercanda dengan ketiga sahabatnya, ditambah almarhum H.
Benyamin.
Mendadak
Jojon nyelutuk, ”udahlah No, bercandanya dihabisin, mumpung masih di
dunia. Di akhirat nanti kita nggak ketemu lagi. Kita ke surga, kamu ke
neraka.”
Cahyono
terdiam dan tak dapat menimpali. Dalam hati ia membatin, Jojon bercanda
tetapi nyelekit. ”No, you kan beriman zabur, taurat dan injil, tapi
masih ada lagi Alquran dengan nabi penutup Muhammad SAW. Itu dari Allah
semua.” Ucapan Jojon kian menghunjam ke sanubarinya.
Cahyono
kian ingin mempelajari Islam. Bahkan, suatu malam, ia bermimpi.
”Mungkin mimpi ini yang lantas mengubah pendirian saya,” kenangnya.
Dalam
mimpinya, dia bertemu dan dikejar-kejar mahluk mengerikan. Saking
takutnya, Cahyono berdoa dan menyebut nama tuhannya. Namun mahluk itu
justru bertambah besar. Semakin lantang disebut nama tuhannya, sang
mahluk makin membesar. ”Pada kondisi yang putus asa, saya teringat nama
tuhannya Jojon. Sekonyong-konyong, saya takbir dalam mimpi itu,
Allahuakbar, dan seketika lenyaplah mahluk tadi,”kisahnya.
Paginya, Cahyono langsung menemui Jojon. ”Tuhanmu manjur Jon,” katanya.
Kendati
demikian, akhir 1992, ia menemukan hidayah-Nya. Saat itu ada
pertandingan sepakbola antarpayuban pelawak Ibukota, di Stadion Kuningan
Jakarta Selatan.
Hari
beranjak petang, matahari pun lingsir. Adzan Magrib mendayu-dayu.
Allahuakbar allahuakbar. Cahyono tak kuasa mendengarnya. Ia menepi ke
pinggir lapangan. Tanpa disadarinya ia sekonyong-konyong bersujud. Ia
merasa tak ragu memeluk Islam. Jojon menjadi pembimbingnya. Cahyono
resmi memeluk Islam pada idul Fitri.
Hatinya
kian tentram dan damai. Namun, ganjalan dari keluarga membayangi.
Ketika ia memberitahu bila dirinya telah Islam, anak dan istrinya kaget.
”Papa masuk Islam pasti mau kawin lagi,” istrinya sinis.
Cahyono
berusaha menjelaskan. ”Saya masuk Islam karena mendapat hidayah dari
Allah. Saya nggak mau ke neraka, sebab selama ini sudah di jalan yang
salah.” Cahyono pun mengajak istri dan anaknya mengikutinya masuk Islam.
Permintaan yang sangat sulit karena mereka penganut Nasrani yang taat.
Tak
menemui kata sepakat, mereka pisah ranjang. Beberapa lama kemudian,
keduanya bertemu lagi dan tetap dengan sikap masing-masing. Tapi,
Cahyono telah berketetapan hati. ”Benar Mah.. di hadapan orang-orang kau
adalah istriku, tapi di hadapan Allah kau bukan istriku.”
”Kalau begitu bagaimana caranya supaya kita bisa rukun lagi,” tanya istrinya.
”Kita kawin lagi tapi syaratnya harus masuk Islam.” Sang istri menampik.
Suatu
hari, ketika rekaman di Purnama Record, Cahyono duduk termenung. Ia
hampir putus asa menghadapi kekerasan istrinya. Tiba-tiba seorang tukang
sapu di studio itu menyapa, ”kenapa Pak Cahyono?”
Tak
dapat memendam galau, Cahyono mengisahkan problema rumah tangganya.
Seusai mendengarnya, tukang sapu itu sembari tetap memegang sapu, tegas
mengatakan, ”buang yang haram, cari yang halal.”
Cahyono kembali ke rumah berbekal ultimatum. Ada tiga bulan ia memberi batas waktu bagi istrinya. ”Kalau mama tetap dengan keyakinan selain Islam, berarti bukan jodoh saya. Tapi kalau mama mau ikut masuk Islam, maka mama memang jodoh saya.”
Batas
waktu terlampaui. Istrinya mengatakan, ”aku nggak bisa masuk Islam.”
Maka berakhirnya pernikahan yang dibina selama sekitar 20 tahun. ”Aku
cinta istri dan anak-anak, tapi lebih cinta Allah.” Setelah mengucap
kalimat tersebut, Cahyono bergegas meninggalkan rumah dan seluruh
isinya.
Waktu
terus bergulir. Selama waktu itu, Cahyono memutuskan tinggal di pondok
pesantren untuk memperdalam Islam. Beberapa saat kemudian, dia
melaksanakan ibadah haji.
Dua
tahun dia menduda. Suatu ketika saat rekaman di salah satu stasiun
televisi swasta, ia bertemu wanita yang menjadi murid sebuah pesantren.
Cahyono langsung terpaut hatinya. ”Mau nggak kawin sama saya,” pintanya
tanpa basa-basi. Si wanita merespon positif, ”kalau bapak mau, saya juga
mau.”
Beberapa
hari kemudian, dia pergi melamar dan diterima baik oleh orang tua si
wanita. Kini pasangan ini telah dikaruniai dua putra.
Setelah
mengharungi jalan berliku untuk mendapatkan hidayah-Nya, apa yang
terpetik pria berpostur tinggi-besar ini? Ia merasa yang paling mahal di
dunia dan akhirat adalah nikmat Islam. Ia pun menyitir ayat Alquran,
Hai orang yang beriman, taqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar
taqwa. Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam.
Peringatan
Allah tersebut benar-benar diresapinya sebagai perintah untuk
memperbanyak amal ibadah selagi masih hidup. Mencari nikmat dunia
setengah mati, tapi saat meninggal nanti semua itu tidak akan berguna di
hadapan Allah, terkecuali iman
Islam. ”Saya baru 11 tahun masuk Islam. Dan sebelum itu kehidupan saya
dipenuhi gemerlap dunia dan hura-hura. Ya namanya juga pelawak terkenal
serta banyak uang.”
Terbayang
di benaknya bila seseorang meninggal dalam keadaan tidak Islam. Dia
menilai, mati dalam keadaan tidak beriman, sudah pasti masuk neraka.
Manusia tidak tahu kapan akan dipanggil Allah. Dengan demikian, untuk
‘berjaga-jaga’ hendaknya perbanyak ibadah dan iman.
Sekarang
ini waktunya banyak diisi dengan kegiatan dakwah. Latar belakangnya
sebagai artis menjadikan Cahyono kerap diminta hadir mengisi acara agama
di berbagai tempat. Ini merupakan berkah tersendiri karena memaparkan
kebenaran agama kepada umat.
No comments:
Post a Comment