Dua puluh tahun yang lalu aku
melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun
terlihat agak bodoh. Hasan, suamiku, memberinya nama Erik. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Aku berniat memberikannya kepada orang lain saja atau dititipkan di panti asuhan agar tidak membuat malu keluarga kelak.
Namun
suamiku mencegah niat buruk itu. Akhirnya dengan terpaksa kubesarkan
juga. Di tahun kedua setelah Erik dilahirkan, akupun melahirkan kembali
seorang anak perempuan yang cantik mungil. Kuberi nama Angel.
Aku sangat menyayangi Angel, demikian juga suamiku. Seringkali kami
mengajaknya pergi ke taman hiburan & membelikannya pakaian anak-anak
yang indah-indah.
Namun
tidak demikian halnya dengan Erik. Ia hanya memiliki beberapa stel
pakaian butut. Suamiku sebenarnya sudah berkali-kali berniat
membelikannya, namun aku selalu melarangnya dengan dalih penghematan
uang keluarga. Suamiku selalu menuruti perkataanku.
Saat
usia Angel 2 tahun, Suamiku meninggal dunia. Erik sudah berumur 4 tahun
kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang
semakin menumpuk. Akhirnya aku mengambil sebuah tindakan yang akan
membuatku menyesal seumur hidup. Aku pergi meninggalkan kampung
kelahiranku bersama Angel. Erik yang sedang tertidur lelap kutinggalkan
begitu saja.
Kemudian aku memilih tinggal di sebuah rumah
kecil setelah tanah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2
tahun, 5 tahun, 10 tahun.......... telah berlalu sejak kejadian itu.
Kini
Aku telah menikah kembali dengan Beni, seorang pria dewasa yang mapan.
Usia pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Beni,
sifat-sifat burukku yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah
sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang.
Angel
kini telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkannya di asrama putri
sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Erik dan tidak ada
lagi yang mengingatnya. Sampai suatu malam. Malam di mana aku bermimpi
tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia
melihat ke arahku. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal
mama caya? caya lindu cekali cama Mama!"
Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun aku menahannya,
"Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?"
"Nama caya Elik, Tante."
"Erik? Erik... Ya Tuhan! Kau benar-benar Erik?"
Aku
langsung tersentak bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan
aneh lainnya menerpaku saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah
ironis yang terjadi dulu, seperti sebuah film yang sedang diputar di
kepala. Baru sekarang aku menyadari betapa jahatnya perbuatanku dulu.
Rasanya seperti mau mati saja saat itu.
Ya,
sepertinya saya memang harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal
seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan,
tiba-tiba bayangan Erik melintas kembali di pikiranku. Ya Erik, Mama
akan menjemputmu Erik...sabar ya nak...."
Sore
itu aku memarkir mobil biruku di samping sebuah gubuk, dan Beni suamiku
dengan pandangan heran menatapku dari samping. "Maryam, apa yang
sebenarnya terjadi?"
"Oh,
suamiku, kau pasti akan membenciku setelah kuceritakan hal yang telah
kulakukan dulu." tetapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak.
Ternyata
Tuhan sungguh baik kepadaku. Ia telah memberikan suami yang begitu baik
dan penuh pengertian. Setelah tangisku reda, aku pun keluar dari mobil
diikuti oleh suami dari belakang. Mataku menatap lekat pada gubuk yang
terbentang dua meter didepan. Aku mulai teringat betapa gubuk itu pernah kutempati beberapa tahun lamanya dan Erik..... Erik......
Aku
meninggalkan Erik di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih aku
pun berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat
dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan
mataku mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.
Namun aku tidak menemukan siapa pun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut
tergeletak di lantai tanah. Aku mengambil seraya mengamatinya dengan
seksama... Mataku mulai berkaca-kaca, aku mengenali betul potongan kain tersebut, itu bekas baju butut yang dulu dikenakan Erik sehari-hari, baju butut yang kadang aku sendiri jijik mencucinya......
Beberapa
saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, aku pun keluar
dari ruangan itu... Air mataku mengalir dengan deras. Saat itu aku hanya
diam saja. Sesaat kemudian aku dan suami mulai menaiki mobil untuk
meninggalkan tempat tersebut. Namun, tiba - tiba aku melihat seseorang
di belakang mobil kami. Aku sempat kaget sebab suasana saat itu gelap
sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.
Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali aku tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
"Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau ke sini?!"
Dengan memberanikan diri, aku pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Erik yang dulu tinggal di sini?"
Tiba
- tiba Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan
terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di
sini, Erik terus menunggu ibunya seraya memanggil, 'Mamaaa..., Mamaaa!'
Karena
tidak tega, saya terkadang memberinya makan & mengajaknya tinggal
bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai
pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti
itu! Tiga bulan yang lalu Erik meninggalkan secarik kertas ini. Ia
belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu....."
Saya pun membaca tulisan di kertas itu...
"Mama,
mengapa Mama tidak pernah kembali lagi...? Mama benci ya sama Erik?
Ma...., biarlah Erik yang pergi saja, tapi Mama harus berjanji ya, kalau
Mama tidak akan benci lagi sama Eric. Udah dulu ya Ma, Erik sayaaaang
sama Mama, ......"
Aku
menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan... katakan di
mana ia sekarang? Aku berjanji akan meyayanginya sekarang! Aku tidak
akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!" Suamiku memeluk
tubuhku yang bergetar sangat keras.
"Nyonya,
semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Erik telah
meninggalkan dunia. Ia meninggal persis di belakang gubuk ini. Tubuhnya
sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di
belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mama-nya datang, Mama-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana ...
Ia
hanya berharap dapat melihat Mamanya dari belakang gubuk ini...
Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras
menunggu Nyonya disana. Nyonya, dosa Anda sungguh tidak terampuni!"
Aku kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.
Dikutip dari situslakalaka.blogspot.com
No comments:
Post a Comment