Inilah cerita motivasi inspirasi yang saya yakin akan bisa mengubah kehidupan yang membacanya.
Surat ini benar-benar menyentuh hati saya. ketika membaca tulisan ini
saya merasa trenyuh dan larut dalam suasana haru. Terbayang wajah ibu
saya, yang telah melahirkan, mendidik, dan membesarkan dengan penuh
kasih sayang. Ibu adalah yang terbaik bagiku. Tak pernah ada kata tidak
untuk kami anak-anaknya ketika meminta sesuatu. Semoga Tuhan membalas
kebaikan ibu dengan pahala yang besar. Semoga Tuhan senantiasa
membimbing dan memberi petunjuk kepada saya untuk selalu memperlakukan
ibu dengan baik serta mengasihinya sebagaimana ibu mengasihi kami,
anak-anaknya.
Wahai anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah
berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena,
sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis,
setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap
kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…
Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi
laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau
pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini
lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati
dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai anakku… 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan
tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang
menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui
arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini
sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi…
Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur,
berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak
mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama
berjalannya waktu.
Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah,
bersamaan dengan itu aku begitu grmbira tatkala merasakan melihat
terjangan kakimu dan balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap
aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat
perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika
fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku
barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa
takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi
menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk
mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun
lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan
semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan
penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah
kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk
cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkonganku.
Wahai anakku… telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan
hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati
hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi
kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya; agar aku melihat senyumanmu.
Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar
aku berbuat sesuatu untukmu… itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan
dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu
yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti,
dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan
selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi
dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis
yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu
aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu.
saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir,
entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis
telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan
pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.
Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya
setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang
selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna
bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama
ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang
dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran.
Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku
dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu.
Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi
penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya
untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku
manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon
berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara
kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku
hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah
kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil
menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku… ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih
kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat
dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di
rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula
dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang jerat
permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak
memandang wajahmu!!
Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat
persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun
hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak
pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil
engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena
badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit… Berdiri
seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu
cintaku kepadamu masih seperti dulu… Masih seperti lautan yang tidak
pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya
engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada
ibumu… Mana balas budimu, nak!? Mana balasan baikmu! Bukankah air susu
seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu
yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Sampai begitu keraskah
hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan
berselangnya waktu?!
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan
hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak,
engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari
keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang
telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!
Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul
denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?
Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku
sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantu
dan budakmu. Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang
layak untukku wahai anakku!
Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah
naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih
sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan
Tuhan mencintai orang yang berbuat baik.
Wahai anakku!! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.
Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau
sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang
laki-laki supel, dermawan, dan berbudi. Anakku… Tidak tersentuhkah
hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu
melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu,
berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena apa-apa?!
Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya…
Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… hanya
karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat
menghujam jantungnya… hanya karena engkau telah berhasil pula
memutuskan tali silaturrahim?!
Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka
titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang
manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di
sana dengan kasih sayang Tuhan,
Wahai anakku!! Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk
memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau
mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan
anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang
emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa
pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya.
Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya,
tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar.
Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya
orang mendirikan tambang emas.
Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari
pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di
dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat
menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan
Tuhan, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?
Anakku… Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak
adukan duka ini kepada Tuhan, karena sekiranya keluhan ini telah
membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan
menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak
ada tabib yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak!
Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku…
Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan
engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu tega melihatmu merana
terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku.
Bangunlah Nak! Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu
masa hingga engkau akan menjadi tua pula, dan “Engkau akan memetik
sesuai dengan apa yang engkau tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya
menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air
matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.
Wahai anakku, bertaqwalah kepada Tuhan pada ibumu, peganglah
kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah
kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang
telah lapuk.Anakku… Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu!
Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.
Wassalam,
Ibumu
Dikutip dari www.antonhuang.com
No comments:
Post a Comment