Mang Udin, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan
sepatu yang sering disebut tukang sol. Pagi buta sudah melangkahkan
kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari
mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Mang
Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai
tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya
perbaikan kecil.
Perut mulai
keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya.
Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar
sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia
hiraukan.
Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang
tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah
dapat uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling
menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.
“Bagaimana dengan hasil hari ini bang? Sepertinya laris nich?” kata mang Udin memulai percakapan.
“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.
“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata mang Udin memelas.
“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”
“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata mang Udin sedikit kesal.
“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata bang Soleh sambil tetap tersenyum.
“Emang begitu bang?” tanya mang Udin, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.
“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.
Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.
“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”
Akhirnya,
mang Udin mengikuti bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang
Soleh begitu hapal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid
tersebut.
Setelah shalat, bang Soleh mengajak mang Udin ke warung
nasi untuk makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab dia tidak
punya uang. Bang Soleh mengerti,
“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”
Akhirnya mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, mang Udin berkata,
“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk dapur abang berkurang dipakai traktir saya.”
“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.
“Abang yakin?”
“Insya Allah.” jawab bang soleh meyakinkan.
“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.
“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.
Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa.
“Apa kabar mang Udin?”
“Alhamdulillah,
baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa koq
penghasilan saya malah turun? Hari ini, tak satu pun pekerjaan belum saya
dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.
Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata,
“Masih ada hal yang perlu mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”
“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin penasaran.
“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.
Keesokan
harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin
yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,
“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”
“Bukan
tidak, cocok. Mungkin keyakinan mang Udin belum kuat atas pertolongan
Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang Udin yakin bahwa Allah akan
menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.
Mang Udin
cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa
hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang
dikatakan oleh bang Soleh.
“Bagaimana supaya yakin bang?” kata mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.
Rupanya, bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan.
“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, disini?” tanya bang Soleh.
“Tidak.”
“Tapi
kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin dapat
rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa
lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat berpikir dalam. Bang Soleh
melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut.
Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya
tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”
Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.
“OK
dech, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya
yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak
melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih abang.” kata mang Udin,
matanya terlihat berkaca-kaca.
“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”
Mereka
pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil
diiringi rasa optimist bahwa hidup akan lebih baik.
Dikutip dari : http://www.motivasi-islami.com/kisah-dua-tukang-sol/
No comments:
Post a Comment